Sudisman, Djakarta 21 Djuli 1967
URAIAN TANGGUNG-JAWAB
Sdr Hakim Ketua dan para Hakim yang terhormat.
Sdr Oditur dan Oditur-Oditur Pengganti yang terhormat.
Sdr-Sdr Pembela yang terhormat.
Dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa dengan singkatan MAHMILUB
ini, izinkanlah saya menyampaikan terimakasih atas kesempatan
dan waktu yang diberikan pada saya untuk menyampaikan perasaan
dan pikiran, dan mengemukakan Pokok-Pokok Persoalan sebagai berikut:
POKOK PERTAMA : PENGANTAR
Sdr Hakim Ketua yang terhormat.
Untuk sempurnanya sesuatu masalah biasanya diiringi oleh suatu
pengantar. Pengantar sebagai pembuka pintu gerbang kejelasan untuk
mencegah supaya tidak tersungkur dalam mencari dan meraba dalam
kegelapan, supaya tidak "
struikelen in het zuken en tastenin
het duister".
Pengantar ini hendak saya gunakan untuk menerangkan arti judul
uraian.
Saya lama mengendapkan diri dalam mencari judul uraian yang tepat,
sesudah meringkuk ditahan dalam sel berukuran 2 M 20 cm kali 3
M 60 cm selama lebih dari 7 bulan atau kongkritnya 211 hari terhitung
Mulai 6 Desember 1966; sesudah 14 kali diperiksa langsung selama
18 hari yang berlangsung tidak kurang dari 70 jam pemeriksaan
dan menghasilkan Berita Acara Pemeriksaan setebal 152 halaman;
sesudah mengalami keseluruhan pemeriksaan pendahuluan sebanyak
40 kali; sesudah mendapat bantuan kiriman sekedar makanan dan
pakaian dari TEPERPU [Team Pemeriksa Pusat] sebanyak l6 kali;
dan sesudah mendapat sekedar pemeriksaan dokter sebanyak 9 kali.
Dalam pengendapan diri itu saya menemukan judul jang tepat, yaitu:
URAIAN TANGGUNG JAWAB
Kenapa tidak memilih judul lain?
Misalnya "Pidato Pembelaan'. Saya sengaja tidak menamakan
uraian saya ini suatu pembelaan, karena suatu pembelaan harus
memiliki persenjataan yang lengkap baik di bidang teori Marxisme-Leninisme
maupun di bidang-bidang lainnya. Persenjataan itulah yang justru
tidak saya miliki karena persediaan perpustakaan tidak saya miliki,
tidak ada ditangan saya, sehingga segala sesuatu yang saya uraikan
ini semata-mata hanya didasarkan kepada ingatan-ingatan yang masih
tersimpan dalam otak selaku "
supreme headquarters"
yang terdiri dari 3 kompartemen, ialah:
1. Fantasi, imajinasi, emosi;
2. Intelek yang menggali pikiran-pikiran dan ide;
3. Memori dan kontrol gerak tubuh.
Karena keterbatasan pengetahuan teori Marxisme-Leninisme yang
ada pada saya, maka saya menyisihkan judul "Pidato Pembelaan"
saya berpendirian bahwa pengetahuan seseorang itu terbatas. Seseorang
bisa mengetahui banyak, tapi tidak bisa tahu semua. Jika seseorang
itu berani menyatakan "Saya tahu semua", maka akibatnya
tidak lain kecuali tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.
Saya selalu berusaha dengan keras untuk mendengarkan pendapat
orang lain memang pernah terlintas, yaitu, "PKI MENGGUGAT".
Judul agung demikian tak mungkin saya pakai dalam keadaan serba
terisolasi, hidup sebatang kara di dalam sel tanpa diskusi dengan
seorang kawanpun. Daripada berlayar sendirian dalam keagungan
judul uraian, saya berpendapat lebih baik mendamparkan diri pada
judul sederhana, "Uraian Tanggung Jawab".
Tanggung-jawab kepada siapa? Dengan sendirinya tanggung jawab
kepada Rakyat. Siapakah yang dimaksud dengan Rakyat itu? Rakyat
ialah : kaum buruh, kaum tani, burjuasi kecil di luar kaum tani
termasuk kaum intelektual revolusioner, dan burjuasi nasional
yang anti-imperialis dan anti tuan tanah (anti-feodal). Kaum buruh,
kaum tani dan burjuasi kecil di luar kaum tani termasuk kaum intelektual
revolusioner adalah Rakyat pekerja dan merupakan tenaga penggerak
revolusi dalam tahap revolusi yang nasional dan demokratis, dalam
tahap revolusi yang anti imperialis dan anti feodal.
Sedangkan burjuasi nasional adalah sekutu tambahan, sebab sesuai
dengan watak bimbangnya, maka burjuasi nasional dalam batas-batas
tertentu dan untuk periode tertentu saya bisa konsekwen anti imperialis
dan anti tuan tanah. Inilah pengertian saya tentang Rakyat. Berdasarkan
pengertian itu maka saya samasekali tidak merasa terikat untuk
bertanggung-jawab kepada musuh-musuh Rakyat. Siapakah yang dimaksud
dengan musuh-musuh Rakyat itu ? Musuh-musuh Rakyat ialah kaum
imperialis, tuan tanah, burjuasi komprador dan kaum kapitalis
birokrat yang dikenal oleh Rakyat sebagai kaum kabir [kapitalis
birokrat] atau kaum pencoleng kekayaan negara menurut istilah
Bung Karno.
Tanggung jawab saya kepada Rakyat adalah sekaligus merupakan tanggung
jawab kepada Partai Komunis Indonesia. Sungguh sayang bahwa sidang-sidang
Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh
RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmillub yang lalu sejak
mengadili perkara Sdr. Dr. Subandrio. Yah, walaupun tidak disiarkan
oleh RRI, saya yakin bahwa secara "getok-tular", secara
berantai akan sampai pada mereka, sebab "
mondblad",
suara dari mulut kemulut, adalah lebih cepat tersiar daripada
"
staatsblad", suara Pemerintah Sdr. Mayor Suwarno.SH,
Ketua Team Asisten Pembelaan Mahmillub, pernah menyatakan bahwa
dihadapkannya saya di depan Sidang Mahmillub ini adalah penting,
sebab mempunyai arti nasional dan internasional. Sdr Mayor Udara
Trenggono SH pernah menjelaskan bahwa sidang Mahmillub adalah
suatu "
fair trial", suatu peradilan yang jujur
(
fair). Ini semestinya berarti peradilan yang terbuka.
Dan Sdr LetKol. Subari SH pernah menerangkan kepada sdr ex Brigjen.
Suparjo, bahwa maksud sdr Jenderal Suharto mengadakan Mahmilub
yang terbuka untuk umum, adalah agar Rakyat dapat menilai tentang
beleid Pemerintah dalam mengadili perkara-perkara yang berhubungan
dengan G-30-S [Gerakan 30 September].
Dikatakannya pula, bahwa bagaimana nanti penilaian Rakyat atas
dirinya akan diserahkan kepada Rakyat.
Sesuai dengan keterangan-keterangan sdr Mayor Suwarno SH, sdr
Mayor Udara Trenggono SH dan sdr Letkol Subari SH tersebut di
atas semestinya logis kalau seluruh persidangan Mahmillub ini
disiarkan RRI. Sesuatu yang logis tapi politis dipandang bisa
merugikan Pemerintah, pihak Pemerintah yang kuasa bisa saya berwenang
untuk mengesampingkan logika tersebut. Singkatnya, sesuatu yang
logis bisa dionlogiskan, sedangkan yang onlogis bisa dilogiskan.
Sebagaimana sidang Mahmillub sekarang ini adalah terbuka tapi
tertutup, dan bersifat umum sesuai dengan pengumuman di koran-koran
yang dihasilkan oleh briefing para petugas militer kepada para
wartawan yang tidak diumumkan. Inilah yang dinamakan serba umum
tapi tidak umum, yang menurut bahasa Rakyat sederhana adalah sama
dengan "didikte", artinya tidak demokratis. Jika wartawan
yang bersangkutan berani menyimpang dari ketentuan briefing bisa
diistirahatkan, di dalam "
hotel pro deo". Ya
jika diketuk rasa - keadilan saya, maka rasa keadilan saya tidak
mengangguk membenarkan tapi dengan lantang menyatakan bahwa semua
hal itu adalah tidak adil bagi kepentingan Rakyat banyak. Ini
kalau didasarkan kepada rasa keadilan saya. Tapi saya tahu, ini
adalah politik yang tidak usah direntang-panjangkan.
Oleh karena itu saya berusaha keras supaya seluruh uraian saya
ini dapat dijelujuri oleh benang merah tangkisan saya pada saat
sidang hari pertama, ketika saya diberi kesempatan mengemukakan
exceptie, yaitu antara lain sbb:
PERTAMA: semua tindakan saya adalah tindakan
politik jang saya la kukan berdasarkan keyakinan Komunis saya;
KEDUA: pengertian hukum bagi saya adalah exposi
atau pernyataan dari kekuasaan yang ada;
KETIGA: saya tidak setuju dengan kebijaksanaan
politik pemerintah sekarang.
Saya mengucapkan terimakasih kepada sdr Oditur yang terhormat
yang telah banyak mensilat soal-soal teori Marxis-Leninis sehingga
menyegarkan ingatan saya kembali setelah absen selama 7 bulan
dalam mempelajari Marxisme-Leninisme.
Juga terimakasih pada Sdr Oditur yang terhormat yang telah mengemukakan
dalam dakwaanya bahwa perbuatan saya adalah suatu
politiek
misdrijf yang di dalam tata hukum Indonesia belum terdapat
peraturannya jang khusus di dalam U.U. tersendiri dan di dalam
tata perundang-undangan Hukum Pidana Indonesia hingga sekarang
belum terdapat U.U. (kodifikasi) khusus tentang delik-delik politik.
Sungguh saya sayangkan bahwa Sdr Oditur yang terhormat dalam memperkuat
alasan-alasannya menggunakan, selain dari Mr.Drs.E. Utrecht, kutipan-kutipan
tafsiran antara lain dari Simons, Stammler, Mr. Robert Van Deputte,
Van Bommelen dan Van Hattum, Mr. C. Noyon, Langemeyer yang umumnya
sarjana-sarjana dari negeri Belanda yang pernah menjajah Indonesia.
Saja akan lebih bisa tegak berdiri dalam mendengarkan pembacaan
dakwaan seandainya alasan-alasan tersebut dilandasi oleh pendapat-pendapat
Sarjan-Sarjana Hukum Indonesia sendiri, seperti Sdr Prodjodikoro
SH, Sdr Susanto SH, Sdr almarhum Wirjono Djokosutono SH, dan sebagainya,
sehingga terpancang kuat kepribadian Indonesia yang saya junjung
tinggi dan saya bela.
Saya sebagai seorang Komunis, putera Indonesia, malu bahwa pada
zaman Belanda sebelum Perang Dunia Kedua ditahan oleh pemerintah
Kolonial Belanda karena
persdelict dan dituduh melanggar
pasal-pasal
Engelbrecht, pada zaman Belanda sesudah Perang
Dunia Kedua ditahan lagi oleh pemerintah Kolonial Belanda dituduh
melanggar pasal-pasal
Engelbrecht, dan pada zaman R.I.
yang sudah merdeka hampir 22 tahun masih juga dituntut melanggar
pasal-pasal
Engelbrecht.. Bukunya itu-itu juga. Inilah
salah satu ciri kenapa PKI menganalisa bahwa Indonesia adalah
masih setengah jajahan atau belum merdeka penuh.
Selain itu cirinya ialah belum terkikis habis Imperialisme dan
sisa-sisa feodalisme dari persada bumi Indonesia. Saya terus terang
tidak setuju jika "
des Konings" harus dibaca
"Presiden" sebab kita hidup tidak dalam suatu "
Koninkrijk"
(Kerajaan), tapi dalam suatu "Republik Indonesia" yang
saya cintai.
Juga saya tidak setuju jika "
ministerieele verandwoordelijkheid"
dalam hal ini pemerintah Belanda diidentikan dengan "Kabinet
R.I." - sebab jiwanya sama sekali lain. Tetapi kalau "
Staten
Generaal" disamakan dengan M.P.R.S. [Majelis Permusjawaratan
Rakjat Sementara], bukan pilihan rakyat sekarang, terserah kepada
Saudara Oditur jang terhormat.
Senoga ada persamaan pengertian dengan Saudara Oditur yang terhormat
mengenai hal ini.
Kembali kepada masalah tanggung-jawab, saya berpendapat bahwa
setiap tanggung-jawab tidak mungkin kokoh, kalau tidak disemen
dengan tekad. Oleh karena itu saja memilih:
POKOK KEDUA: TEKAD
Saudara Hakim Ketua yang terhormat.
Sejak sepasukan "
Operasi Kalong" bersama kawan
Sujono Pradigdo Ketua Komisi Verifikasi CC-PKI datang menggerebeg
tempat tinggal saya dikampung tergenang air Tomang, dan menangkap
saya, maka saya membulatkan diri dalam tekad antuk "teguh
dan tenang".
Tekad saya pada waktu itu bersumber pada
moral Komunis.
Pengertian moral bagi saya, ialah : "norma-norma atau ketentuan-ketentuan
yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kedudukan
kelasnya".
Perdasarkan pengertian ini, maka moral Komunis adalah:
1. Bersikap jujur;
2. Bersatu;
3. Berdisiplin;
4. Bersetia-kawan; dan
5. Berkorban.
Dalam PKI senartiasa diutamakan dan ditanamkan kejujuran sebab
dengan jujur terhadap satu sama lain, akan mudah dicapai persatuan
melalui suatu perjuangan.
Persatuan itu sendiri bergerak dan berkembang sehingga terjadi
ketidaksatuan dalam persatuan jang perlu diperjuangkan lagi untuk
mencapai persatuan kembali, demikian seterusnya, sehingga menurat
hukumnya persatuan itu relatif dan perjuangan itu mutlak untuk
mencapai persatuan.
Hasil perjuangan dalam persatuan itu adalah mengkikis sesuatu
yang usang dan menumbuhkan yang baru dan maju, sedangkan pertumbuhan
dari yang maju, pasti mendapat perlawanan dari yang usang.
Hukum itu juga berlaku dalam PKI, kongkritnya hasil perjuangan
dalam persatuan itu menelorkan keputusan yang harus ditaati dan
dilaksanakan tanpa pamrih.
Inilah disiplin, sebab "
dedication of life" tidak
mungkin dijalankan tanpa disiplin.
Arti disiplin yang berasal dari perkataan disipel adalah murid,
penganut atau apostee. Jadi disiplin adalah keputusan yang harus
dilaksanakan oleh penganut-penganutnya, sama halnya dengan disiplin
dikalangan ABRI yang terumuskan dalam marga kelima dari
Sapta
Marga yaitu:
"Kami prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia memegang
teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung
tinggi sikap dan kehormatan prajurit."
Berdasarkan ulasan ini, terang bahwa disiplin PKI bukannya suatu
"
Kadaver Discipline", bukannya "disiplin
mati", dan seorang Komunis bukannya "manusia robot",
tapi seorang Komanis adalah manusia biasa yang berpandangan dunia
materialisme-dialektik dan histori (MDH).
Bagi PKI, disiplin dimaksud untuk menyelenggarakan pekerjaan dengan
tepat dan baik. Dan suata pekerjaan baru dapat diselenggarakan
dengan tepat dan baik kalau disertai dengan kesetia-kawanan atau
solidaritas, dan untuk kesetia-kawanan harus berani berkorban,
sebab tanpa berani berkorban menundukan kepentingan pribadi bagi
kepentingan umum tidak akan mungkin tercapai solidaritas, tidak
akan mungkin tercipta persatuan dan kesatuan antara yang memimpin
dan yang dipimpin, tidak akan mungkin tergalang persatuan dan
kesatuan antara
Bapak dan
anakbuah Itulah sekedar
uraian tentang moral Komunis.
Berdasarkan moral Komunis itu diterapkan pelaksanaan "
Centralisme
demokrasi", yaitu centralisme yang didasarkan kepada
demokrasi dan demokrasi yang dipusatkan, dimana dipadukan pertanggungan-jawab
kolektif dengan pertanggungan-jawab perseorangan.
Berdasarkan moral Komunis itu saya usahakan dengan sekuat tenaga
untuk dalam derita, dalam kesulitan di tengah-tengah petir menyambar
dan mati menghadang tetap melaksanakan "
tiga satu",
yaitu satu pikiran, satu hati, dan satu tujuan.
Satu pikiran ialah pikiran Marxis - Leninis, satu hati ialah hati
Komunis, dan satu tujuan ialah perobahan fundamentil nasib Rakjat,
dari hidup miskin menjadi hidup layak, dan dari "
serba
salah" menjadi "
serba benar". Dengan
landasan "tiga satu" itulah saya berusaha keras dalam
menjalankan tugas, sebab saya selalu bersemboyan berdasarkan pepatah
Inggris "
be mindful of your task, and do it right, for
a task is noble".
Terjemahannya kurang-lebih sebagai berikut: "curahkan penuh
pikiran kepada tugasmu dan laksanakanlah dengan baik, sebab tugas
adalah suci".
Dengan"tiga-satu" itulah saya melangkah dengan satu
tekad seperti yang telah saya rumuskan dalam suatu pernyataan
tertanggal 21 Desember 1966 yang saya sampaikan kepada para sdr
Pemeriksa saya, yaitu : Sdr. LetKol. Ali Said SH., Sdr. LetKol.
Durmawel SH. dan, Sdr LetKol. Subari SH.
Lengkapnya, pernyataan itu adalah sebagai berikut:
PERNYATAAN SUDISMAN
Para Sdr Pemeriksa yth.
Saya tertangkap pada tanggal 6 Desember 1966 di daerah terpencil
Tomang, dalam juang terkepung lawan, tepat setahun sesudah Kawan
Njoto tertangkap. Peristiwa ini sungguh sesuatu adegan yang mengharukan,
persamaan waktu mengibaratkan persamaan nasib dan sepenanggungan.
Keharuan itu menghujam makin dalam dan makin dalam lagi, karena
tertusuk kehalusan tindak para Sdr Pemeriksa yang dengan ramah
masih memberikan kesempatan terakhir untuk memaparkan kata-kata
akhiran saya sebagai
pejuang Komunis menjelang akhir tahun
1966. Serba kebetulan, kalau tidak boleh dikatakan serba istimewa,
bahwa akhir tahun mengakhiri hidup seorang Komunis. Betapa tidak
mengharukan!
Dari haru, tergugahlah lubuk hati saja untuk mengucapkan terima
kasih atas segenap daya upaya yang telah ditempuh oleh para Sdr
Pemeriksa yang dengan penuh kesabaran telah berikhtiar untuk mengubah
tekad saya memilih "
jalan-mati" menjadi "
jalan-justisi".
Juga tidak mungkin pernyataan terima kasih saya begitu saja saya
lewatkan, tanpa mengulang, sekali lagi mengulang kembali, terima
kasih saya atas adanya pengertian dari pihak para Sdr Pemeriksa
mengenai pikiran dan perasaan saya jang terpancang dalam hati
: untuk mensenyawakan sikap dengan massa anggota PKI yang telah
tertembak mati, untuk melaraskan diri dengan sikap mati pemimpin-pemimpin
utama PKI, DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman, dan untuk
memikul tanggung ja wab terhadap ratusan ribu korban massa progressif
karena kegagalan G-30-S.
Sajapun mengerti dengan baik, bahkan menghormati, bobot uraian
yang diajukan para sdr Pemeriksa yang tetap menganjurkan saya
supaja mengambil "jalan - justisi".
Timbul pertanyaan. Kenapa justru saya yang harus memilih "jalan-justisi".
padahal kawan-kawan kasih sayang se-team saya dalam memimpin PKI,
DN.Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman telah merentas "jalan-mati"
untuk kehormatan PKI ?
Mereka berempat telah mati tertembak tanpa "jalan-justisi".
Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat,
sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan
sikap saya dengan mereka berempat dan memilih "jalan mati".
Saya dengan mereka berempat telah berpanca-kawan, artinya, berlima
telah bersama-sama membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari
kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik
benar, dari terisolasi menjadi berfrontluas, dari kurang belajar
teori menjadi mulai belajar teori Marxisme - Leninisme, dan karena
tidak menguasai teori Marxisme - Leninisme secara kongkrit kemudian
berakhir terpelanting dalam kegagalan' G-30-S yang membawa kerusakan
berat pada PKI. Saja pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal.
Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI,
sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI.
Keunggulan kaum kanan dalam kontradiksi kekuatan kanan, kekuatan
tengah dan kekuatan kiri didalam negeri. Karena gagal, berarti
kalah dan hukumnya bagi pribadi seorang
pejuang yang gagal
dan kalah digenggaman tangan lawan tidak ada lain, kecuali "MATI".
Jadi, bagi saya - "jalan-justisi" - akan berakhir pada
"mati, dan - "jalan-mati" - akan berakhir pula
pada "tidak-hidup'. Dua jalan itu bertitik akhir sama. Itulah
persamaannya, letak perbedaannya ialah dalam jarak, yang satu
berjarak panjang bernama "jalan-justisi", sedangkan
yang lainnya berjarak pendek bernama "jalan mati". Saya
memilih jalan pendek ini - "jalan mati" jalan berlima
menungal jadi satu, jalan yang telah dilalui oleh kawan-kawan
DN Aidit, MH Lukman, Njoto dan Sakirman.
Jika saya menempuh "jalan-mati' dengan menggunakan "hak
tidak mau menjawab pertanjaann-pertanyaan", maka ini berarti,
bahwa:
- Bukannja saya nekad, sebab kalau mau nekad, sewaktu ditangkap
saya melawan alat-alat negara jang mengurung rumah. Tidak, saya
tidak mau mati dikenal sebagai seorang konyol;
- Bukannya saya putus - asa, sebab kalau berputus-asa, dalam
sel tahanan saya mencoba untuk bunuh diri. Tidak, saya tidak mau
mati dikenal sebagai pengecut;
- Bukannya saya ingin berambisi manjadi pahlawan, sebab seorang
pahlawan tidak ada yang gagal dalam perjuangannya, kalau terpaksa
gugur seorang pahlawan gugur di medan pertarungan. Tidak, saya
bukan salah-satu dari mereka;
- Bukannya saya tidak mencintai keluarga, terutama isteri, anak
sebab aeluruh perjuangan saya sebagai Komunis justru saya abdikan
untuk kepentingan Rakjat artinya, kalau Rakjat menang, maka Rakjat
berbahagia, dan dalam kebahagiaan Rakjat itu termasuk kebahagiaan
keluarga, isteri - anak saya yang saya cintai. Tidak, bukannya
saya tidak mencintai keluarga, isteri - anak, tapi justru kebalikannya,
saya sangat mencintai mereka.
Jelas-jemelaslah, bahwa saya bukannya seorang yang nekad, bukannya
seorang yang putus-asa, bukannya seorang yang ingin berambisi
menjadi pahlawan, dan bukannya seorang yang tidak mencintai istri
anak, tapi saya hanya sebagai seorang Komunis yang mau bersetia-kawan
menempuh "jalan-mati" jalan berlima menunggal jadi satu.
Berlima kita pernah dihadapkan kepada pemeriksaan, membela pendirian
PKI yang tidak menyetujui kebijaksanaan politik Pemerintah R.I
pada 8 Juli 1960. Berlima kita diperiksa bersama, dan berlima
kita bebas bersama. Kita berlima selalu bersama. ya, saya hanya
sebagai seorang Komunis yang telah berbicara sesuai dengan keperluan,
dan selanjutnya menggunakan "hak tidak menjawab pertanyaan",
sebab banyak dokumen yang sudah tersita oleh kekuasaan militer
sekarang. Dokumen-dokumen itu telah berbicara sendiri tentang
PKI dan perjuangannya membela kepentingan Rakjat banyak.
Jadi, berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, menurut pendapat
saya, bukanlah sesuatu yang berlebih-lebihan setelah kawan berempat
saya tertembak mati, maka sayapun berhak memilih dengan tulus-ikhlas
jalan yang sama - "jalan-mati", untuk kita berlima.
"Jalan-mati" ini saja kira samasekali tidak menyalahi
dengan perintah-harian dari kekuasaan militer sekarang yang secara
umum telah memerintahkan tangkap hidup atau mati". Apakah
ini artinya ? Bagi saya, ini berarti, saya telah dinyatakan sebagai
"
vogelvrij verklaard", ditangkap hidup pasti
mati", dan ditangkap mati tidak diperkarakan.
Ini memperkuat keyakinan saya, bahwa "jalan-justisi"
berakhir pada mati dan "jalan-mati" juga berakhir pada
mati.
Merang benar, bahwa ada mati karena ada hidup, dan setiap hidup
ditutup dengan mati. Jika saya mati sudah tentu bukannya berarti
PKI ikut mati bersama kematian saya. Tidak, sama sekali tidak.
Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap
yakin bahwa ini hanya bersifat sementara dan dalam proses sejarah
nantinya PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman
yang dilahirkan oleh zaman. Tumbuhnya kembali PKI tidak tergantung
kepada adanya kita berlima yang telah gagal memberikan pimpinan.
Dengan berbagai jalan yang berat dan sulit PKI akan menemukan
kembali cara-caranya untuk tumbuh kembali dengan tenaga-tenaga
yang jauh lebih segar daripada kita berlima. Mereka pasti akan
menjadikan kegagalan-kegagalan itu sebagai ibu kemenangan. Hukum
perjuangan menentukan: berjuang gagal, berjuang lagi, gagal lagi,
berjuang, gagal ....... akhirnya menang. Kemenangan hanya ada
pada mereka yang berani menghadapi kesukaran dan berani berjuang.
Dan untuk menang harus berani menempuh jalan panjang.
Saya menyadari,
bahwa kegagalan dalam perjuangan disebabkan karena kesalahan-kesalahan.
Demikian halnya dengan kegagalan G-30-S, karena adanya kesalahan-kesalahan
PKI yang menumpuk untuk masa yang panjang, antara lain:
PERTAMA: dibidang,ideologi ialah subjekitivisme
yang bersumber pada lautan burjuis kecil dan bersumber pada cara
kerja kepicikan burjuis kecil. Ini berarti, meninjau sesuatu hanya
dari satu segi saja, tidak secara menyeluruh sehingga menghadapi
kenyataan itu tidak sebagai sesuatu yang utuh, tetapi sebagai
sesuatu yang sepotong-potong. Ini mengakibatkan pada saat PKI
besar melupakan kewaspadaan bahwa kaum imperialis bersama dengan
kaum reaksioner dalam negeri bisa menjadi kalap untuk menyergap.
Dalam keadaan demikian sesungguhnya dibutuhkan kepandaian Marxis-Leninis
untuk secara ilmiah menghitung imbangan kekuatan secara kongkrit
dari kedua belah pihak, dari kekuatan PKI sendiri dan dari kekuatan
lawan. Dan dalam mengatur gerakan sangat dibutuhkan disamping
keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam menentukan waktu
yang tepat dan memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi
oleh G-30-S, sehingga menyebabkan kegagalannya. Ditambah lagi
gerakan itu terpisah samasekali dari kebangkitan massa.
Padahal
menurut pengumuman-pengumuman Dewan Revolusi tujuan G-30-S adalah
baik, yaitu: mencegah adanya diktatur militer, mengkonsekwenken
Nasakomisasi di semua bidang, dan bertindak kepada segenap bentuk
penyelewengan dibidang finansiil dan ekonomi. Saya setuju dengan
G-30-S karena hendak membela dan tetap mempertahankan politik
kiri R.I.
Selain subjektivisme pada diri pimpinan PKI dihinggapi revisionisme
- modern yang bersumber kepada pemburjuisan diri setelah berposisi
di lembaga-lembaga negara.
Kelemahan-kelemahan ideologi tersebut diatas menyebabkan adanya
konsep-konsep teori dengan burjuasi. Suatu contoh "Manipol
[Manifes Politik] adalah program bersama". Perumusan ini
tepat". Tapi menjadi keliru setelah ditambah "jika Manipol
sebagai program bersama dilaksanakan dengan konsekwen, maka.sama
dengan program PKI". Manipol sebagai program bersama meliputi
juga kepentingan kelas Kapitalis (burjuasi) tetap mempertahankan
adanya exploitasi terhadap kaum buruh. Padahal program PKI adalah
Sosialisme yang menghapuskan sama sekali "
exploitation
de l'homme par l'homme", menghapuskan penindasan manusia
atas manusia. Jadi kaum Kapitalis Indonesia tidak mungkin dibawa
sampai ke Sosialisme, mereke akan melawan Sosialisme. Buktinya
sesudah G-30-S gagal, mereka menuntut penghapusan Manipol, sebab
Manipol menentukan bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah
Sosialisme dan bukannya Kapitalisme.
Demikianlah persoalan yang menyangkut kelemahan ideologi yang
telah tertera dalam otokritik PKI.
KEDUA: di bidang politik pimpinan PKI telah tepat
menggariskan pentingnya "
bersatu dan berjuang"
dalam politik ber-front. Tapi dalam prakteknya PKI tenggelam dalam
bersatunya" dan kurang "
berjuangnya". Ber-front
berarti bersama dengan kelas-kelas lain, sehingga wajar harus
dilakukan perjuangan kelas untuk kepentingan tenaga-tenaga penggerak
revolusi, yaitu: kaum buruh, kaun tani penggarap dan burjuasi
kecil lainnya bukan tani. Tanpa perjuangan, pekerjaan front menjadi
mati, dengan perjuangan, pekerjaan front menjadi hidup. Hal ini
dibuktikan dengan pekerjaan Front Nasional jang lalu, dimana keputusan-keputusannya
tidak dicapai mela lui perjuangan maka Front Nasional kurang hidup.
KETIGA: dibidang organisasi pimpinan PKI tidak
konsekwen melak sanakan metode menyelesaikan kontradiksi dalam
Partai dengan kritik dan otokritik. Ini mengakibatkan disatu pihak
adanya liberalisme, den di pihak lain adanya komandoisme. Tanpa
kritik/ottokritik kita menjadi tidak kritis dan kritik dari bawah
menjadi tidak berkembang.
Kesalahan PKI dibidang ideologi, politik dan organisasi tersebut
diatas telah tercantum dalam otokritik PKI yang sudah ada ditangan
kekuasaan militer sekarang. Segi positif dari kegagalan G-30-S
ialah menggugah PKI untuk meneliti kesalahan-kesalahannya dan
menelorkan otokritiknya. Dengan otokritik itu, saya yakin, bahwa
dalam proses sejarah nantinya generasi baru dari PKI akan menarik
pelajaran sebaik-baiknya. Generasi baru itulah yang akan menjadikan
PKI sebagai Partai yang benar-benar Marxis-Leninis, memiliki program
agraria revolutioner yang tepat, bebas dari segenap oportunisme
dan revisionisme modern. PKI yang demikianlah yang akan mampu
memecahkan masalah fundamentil Rakjat Indonesia, yaitu revolusi
agraria bersenjata kaum tani, berlandaskan front persatuan nasional
yang luas, persekutuan kelas buruh dan kaum tani dibawah pimpinan
kelas buruh PKI yang demikianlah jang pasti dalam kata-kata dan
perbuatan dapat sungguh-sungguh mengintegrasikan diri dengan Rakyat
banyak, sesuai dengan idam-idaman dua bait sajak saya dalam Rumah
Tahanan Militer (RT) Jakarta, jang berjudul:
SAMODERA BERPANTAI KRAKATAU
Samodera berpantai krakatau
krakatau berpantai samodera
samodera pantang asat
walau prahara bergunjing
krakatau tak menekuk
walau taufan membadai.
Samodera itulah rakyat
krakatau itulah partai
keduanya saling mempantai
samodra berpantai krakatau
krakatau berpantai samodera
Hanja dengan PKI yang memenuhi syarat-syarat seperti tersebut
diataslah akan dapat diselenggarakan stabilisasi politik dan ekonomi
Indonesia. Kekuasaan militer sekarang, menurut keyakinan saya
tidak mungkin dibebani tugas sejarah ini sebab:
Pertama, kaum buruh dan kaum tani terutama tidak
menyokong kekuasaan militer sekarang, karena penghidupannya makin
hari, makin berat, dan pada suatu saat pasti bangkit berjuang
menuntut kebebasan demokratis dan perbaikan nasib;
Kedua, kontradiksi intern dikalangan yang berkuasa
makin hari makin menajam untuk memastikan siapa yang paling berkuasa
dibidang politik dan ekonomi, dan massa Rakjat serta partai-partai
politik yang demokratitis pasti menuntut penghapusan militerisasi,
sebab dalam sejarah tidak pernah ada rezim yang secara mutlak
dapat semata-mata mempertahankan diri diatas ujung bayonet;
Ketiga, stabilisasi ekonomi bersandarkan kepada
apa yang dikatakan bantuan dari kaum imperialis bukannya pemecahan,
apalagi mengundang kembali penanaman modal monopoli asing yang
telah dilikwidasi oleh revolusi. Sebab sepanjang sejarah tidak
ada kaum imperialis yang menyetujui pembebasan Rakyat, bahkan
justru kebalikannya yang dipaksakan ialah penindasan, penghisapan
dan pemerasan Rakyat. Inilah kebenaran fakta yang tak direlakan.
Sungguh sayang, keadaan subjektif PKI yang masih alam keadaan
rusak berat belum memungkinkan untuk tampil ke depan, dan terpaksar
di tengah-tengah kejaran dan gencaran peluru lawan bertiarap untuk
akhirnya merangkak kembali membidik musuh-musuh Rakyat ialah Imperialisme,
tuan-tanah dan kaum reaksioner lainnya dalam negeri.
Di balik keadaan subjektif yang belum menguntungkan PKI itu, keadaan
objektif sangat baik bagi perjuangan Rakyat Indonesia, terutama
dari segi posisi internasional, Indonesia berada di Asia Tenggara
sebagai pusat telengnya kontradiksi dunia, dengan titik pusat
Vietnam. Perang yang dibiayai agresor imperialis AS di Vietnam
yang bertulang-punggung tentara Vietsel akan berobah menjadi perang
lokal yang bertulang-punggung tentara agresor imperialis AS langsung
yang sekarang telah berjumlah lebih dari 320.000 serdadu. Menurut
perkiraan saya dan dan berdasarkan watak agresif imperialis AS,
bahwa sekali perang lokal Vietnam berkobar pasti menjalar ke seluruh
Asia Tenggara, sehingga perang berobah posisi menjadi Perang Rakyat
yang lambat laun berkobar tanpa mengenal batas. Dalam keadaan
demikian Indonesia akan dihadapkan kepada pilihan, memihak
Perang
Rakyat atau Perang Agresi AS yang menjadikan Indonesia sebagai
daerah-belakangnya. Saya yakin bahwa perjuangan Rakyat Indonesia
akan berpartisipasi kepada Perang Rakyat dan perubahan imbangan
kekuatan baru akan timbul di Indonesia dan bangkit bersatu segenap
tenaga penggerak revolusi menuju Indonesia Baru yang bebas dari
imperialisme dan feodalisme. Inilah jalannya proses sejarah yang
tidak dapat dibendung oleh kekuatan apapun juga, juga tidak oleh
pulasan kata-kata "menghalau musuh dari Utara, dan membendung
Komunisme" Ya, akhirul-kalam dunia telah berganti rupa, untuk
kemenangan kita. Demikianlah keyakinan saya.
Maafkanlah kalau ada saru-siku saya selama dalam tahanan, dan
izinkanlah saya menutup tulisan ini:
- dengan rongga dada yang penuh digenggangi kemegahan lagu kebangsaan
Indonesia Raya,
- dengan hati berdebar mengiringi melodi mars kelas buruh sedunia
Internasionale,
- dengan sinar mata tajam mencahyai sembojan "Hidup PKI".
- dengan seru kalbu bertalu "Kaum Buruh seluruh Dunia,
Bersatulah!".
Sekian.
Jakarta, 21 Desember 1966
Pembuat Pernyataan
ttd
SUDISMAN
Tekad saya tersebut diatas, ialah tekad untuk menggunakan "hak
tidak menjawab pertanyaan" dengan maksud supaya saya dapat
menyatu-ragakan diri dengan sikap menempuh "jalan mati"
sebagaimana sudah dialami oleh kawan-kawan Aidit, Lukman, Njoto
dan Sakirman, ternyata tidak dapat diluluskan oleh yang berwajib,
saya tidak bisa menepuk sebelah tangan. Mencegah supaya jangan
sampai saya dituduh "mau mengulur-ulur" penyelesaian
perkara "atau mau mendelay perkara", maka saya kemudian
menyelaraskan diri dengan kehendak para sdr Pemeriksa dan memasuki
pemeriksaan pendahuluan.
Salah satu jawaban saya terhadap pertanyaan penting para sdr Pemeriksa,
ingin saya paparkan dalam:
POKOK KETIGA: Disekitar PKI dan G-30-S.
Sdr Hakim Ketua yth.
Pada tanggal 3 Januari 1967 para Sdr Pemeriksa mengajukan pertanyaan
yang berbunyi sebagai berikut:
Pertanyaan: Apa yang mendorong PKI untuk mengambil
suatu tindakan yang menjurus kepada G-30-S pada akhir bulan September
/permulaan 1 Oktober 1965 dalam pemerintahan dibawah kekuasaan
Presiden Sukarno?
Jawaban: Dalam menjawab pertanyaan tersebut diatas,
saya tetap berpegang teguh kepada statement Politburo CC PKI tertanggal
6 Oktober 1965 yang antara lain menerangkan, bahwa "PKI tidak
tahu menahu tentang G-30-S dan peristiwa itu adalah intern AD".
Alasanya ialah :
- Dalam sidang-sidang Politburo CC-PKI, oleh kawan DN Aidit
dijelaskan bahwa ada perwira-perwira maju yang mau mendahului
bertindak untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal. Untuk itu DN Aidit
menugaskan pengiriman beberapa tenaga ke daerah pada hari-hari
menjelang mencetusnya G-30-S dengan garisnya "dengarkan pengumuman
RRI Pusat dan sokong Dewan Revolusi". Jika PKI secara menyeluruh
terlibat dalam G-30-S maka: a) Masalah yang begitu penting harus
dibicarakan dalam sidang pleno CC-PKI mengingat scope-nasionalnya
yang bersifat luas dan penerapan persoalan teori, bahwa "sekali
mengangkat senjata haruslah dirampungkan sampai selesai, dan jangan
sekali-kali main api dengan senjata"; b). Masalah yang begitu
penting tidak cukup diletakkan penugasan kepada beberapa tenaga
ke daerah hanya beberapa hari sebelum peristiwa, tapi seharusnya
banyak tenaga yang ditugaskan ke daerah-daerah beberapa bulan
sebelumnya dengan ga ris "bangkitkan massa, adakan perlawanan
massa dan bentuk Dewan Revolusil;
- Sesudah G-30-3 pecah kenyataannya menunjukkan, bahwa PKI pasif
tidak berlawan, malahan menjadi korban penangkapan atas perintah
"tindak dengan alasan langsung dan/atau tidak langsung tersangkut
G-30-S", menjadi korban pembunuhan massal atas dasar perintah
"habisi dan tindas sampai keakar-akarnya", dan witchhunting
(pengejaran teror putih ketiga (1926, 1948, 1965). Dalam hati
timbul tanda-tanya, apakak dosanya Ny.Njoto bersama anak-anaknya
yang tidak tahu menahu tentang perbuatan politik suami- ajahnya,
kawan Njoto, sampai dijebloskan ditahanan sel Kodim Budikemulyaan,
sehingga oroknya tidak dapat menetek lagi karena air susu asat?
Padahal pernah oleh yang berkuasa didesirkan 'jangan balas dendam"
yah, desiran itu hanya sebagai angin lalu saja sebab kenyataannya
yang dilancarkan adalah meng-ex-Komunis-kan anggota PKI sekeluarganya
komplit. Hal ini, pasif tak berlawan, tidak mungkin terjadi jika
PKI mempersiapkan dan disiapkan untuk G-30-S.
- Yang bergerak dalam G-30-S kebanyakan perwira-perwira non-Komunis
disamping yang Komunis, sehingga sesuai dengan keterangan kawan
DN Aidit, bahwa perwira-perwira maju mau mendahului bertindak.
Apalagi kalau dilihat rencana susunan Dewan Revolusi tidak terdiri
dari tokoh utama Nasakom dan dipimpin langsung oleh kawan DN Aidit
sendiri
Dengan mengemukakan tiga-faktor tersebut diatas bukannya saya
bermaksud untuk memungkiri bahwa tokoh-tokoh PKI terlibat langsung
dalam G-30-S. Tidak, sebagaimana telah saya jelaskan tokoh-tokoh
PKI, termasuk saya sendiri, terlibat dalam G-30-S, tetapi PKI
sebagai Partai tidak terlibat dalam G-30-S.
Dengan mengemukakan tiga-faktor tersebut diatas, bukannya saya
bermaksud untuk membandingkan dengan peristiwa pemberontakan yang
telah dicetuskan oleh Masjumi/PSI [PSI: Partai Sosialis Indonesia].
Masjumi dikenal sebagai partai yang didirikan di zaman militerisme
Jepang, Masjumi dikenal anti-Pancasila sewaktu Konostituante,
dan Masjumi dikenal sebagai sebagai DI - TII yang legal sedangkan
DI-TII [Darul Islam/Tentara Islam Indonesia] sebagai Masjumi yang
ilegal yang bersama-sama PSI memberontak mendirikan negara dalam
negara R.I. semasa PRRI/PERMESTA [Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia / Piagam Perjuangan Semesta]. Tokoh-tokoh utama Masjumi/PSI
terang menjadi Menteri2 PRRI/PERMESTA, tetapi apakah tindakan
Pemerinteh pada waktu itu? Tindakan Pemerintah pada waktu itu
tidaklah otomatis membubarkan Masjumi/PSI, apalagi membubarkan
ormas2-ormasnja, menyita hak milik organisasi Masjumi/PSI, menghukum
mati takoh-tokohnya dan melarang ajarannya. Malahan Pemerintah
memberikan amnesti tokoh-tokoh Masjumi/PSI dibebaskan dan sekarang
mulai mengaktifkan kembali Masjumi/PSI. Yang terang GPII [Gerakan
Pemuda Islam Indonesia] sudah memproklamasikan diri legal kembali
melalui pengumuman di salah satu koran.
Jika, mau mengetuk rasa keadilan dan perikemanusiaan sebagai salah
satu sila Pancasila, maka semestinya harus ada perlakuan yang
sama baik terhadap Masjumi/PSI maupun PKI, yaitu memisahkan perbuatan
tokoh-tokoh PKI jang terlibat dalam G-30-S dan PKI sebagai partai
yang tidak tahu-menahu tentang G-30-S. Tetapi hal ini tidak terjadi.
Bagi saya jelas, bahwa hal ini tidak terjadi karena yang berkuasa
adalah satu kelas dengan Masjumi/PSI. Menurut hukumnya sesuatu
klas tidak akan melikwidasi kelasnya sendiri dan yang ditempuh
ialah jalan kompromi baik dengan jalan abolisi maupun amnesti.
Terhadap PKI yang merupakan lawan kelas dan kekuasan militer sekarang,
maka dilakukan tindak likwidasi yang bisa berlangsung untuk sementara
dalam artian sejarah.
Disinilah relatifnya keadilan dan kebenaran dipandang dari kekuasaan
kelas yang ada pada suatu masa tertentu. Jadi, dengan demikian
jelaslah bahwa perjuangan kelas bukannya sirna di Indonesia, tapi
justru kebalikannya, perjuangan kelas menjadi menajam.
Sekarang saya akan mengajukan "kekinian" atau "het
heden" daripada peristiwa sebelum G-30-S mencetus. Persoalan
ini perlu saya ajukan, sebab bagi saya "
het heden is onderhevig
aan het verleden en de tukomst". Atau "kekinian
ditentukan oleh hari kemarin dan menentukan hari depan" Apakah
"kekinian" pada waktu itu?
"Kekinian" pada waktu itu, menurut pendapat saya, yaitu
beberapa pokok persoalan, yang hendak saya bagi dalam beberapa
bab sebagai berikut:
BAB I, sikap PKI terhadap Pemerintahan dibawah kekuasaan
Presiden Sukarno: PKI pada waktu itu menentukan sikap
terhadap Pemerintahan, ialah menyokong politik Pemerintah yang
maju, mengkritik politik Pemerintah yang ragu menentang politik
Pemerintah yang merugikan Rakyat. Yang maju dan disokong PKI ialah
politik Pemerintah yang pada umamnya anti-imperialis dan dalam
batas-batas tertentu anti-tuan-tanah (anti-feodal). Politik anti-imperialis
Pemerintah yang tepat adalah pembagian kekuatan dunia dalam dua
kubu, yaitu : Kubu
NEFO yang terdiri dari negeri-negeri
Sosialis, negeri-negeri yang baru merdeka dan rakjat-rakjat progresif
di negeri-negeri Kapitalis menghadapi Kubu kedua yaitu kubu imperialis
sebagai kubu
OLDEFO. Berdasarkan politik Nefo ini dapatlah
garis politik Presiden Sukarno yang merumuskan politik luar-negeri
R.I., sebagai berikut : "
not to make friends but to defend
the revolution", dan "Nefo", termasuk RRC adalah
"
Comrades in arms". Inilah politik kiri yang
tepat, politik anti-imperialis yang dalam perbuatan telah menyokong
perjuangan Rakyat Aljazair melawan imperialis Perancis, menyokong
perjuangan Rakyat Vietnam melawan imperialis AS, menyokong perjuangan
Rakyat Kalimantan Utara melawan Inggris dalam bentuk kongkrit
berkonfrontasi dengan proyek bersama imperialis Inggris - AS "Malaysia",
dan menyokong perjuangan Rakyat Pakistan melawan agresi India.
Politik kiri anti-imperialis ini sekarang pada hakekatnya sudah
dianulir sekarang oleh kekuasaan militer yang sudah tidak lagi
anti-imperialis dalam perbuatan, buktinya antara lain mengundang
kembali penanaman modal asing dan mengadakan operasi keamanan
terhadap "bahaya Komunisme" yang pada hakekatnya ditujukan
kepada kaum gerilyawan pejuang Kalimantan Utara. Sekian tentang
politik luar negeri anti-imperialis dari Pemerintah yang dulu.
Sedangkan politik dalam negeri yang maju ialah dalam batas-batas
tertentu politik anti-tuan tanah (feodal), yaitu: pembatasan hak
milik tanah tuan tanah sampai 5 ha dengan pengaturan oleh Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) dan penurunan setoran kaum tani penggarap
dari 5:5 menjadi minimal 6:4 untuk kaum tani penggarap dengan
pengaturan oleh Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBM). Politik
maju yang sekedar menguntungkan kaum tani penggarap itu sekarang
pada hakekatnya telah dianulir oleh kekuasaan militer sekarang,
dengan bukti banyak tanah - lebih yang dulu sudah dibagikan dicabut
kembali oleh tuan-tanah yang bersangkutan dan bagi hasil kembali
kepada maksimaal 5:5, bawon (upah panen) dari 1:5 ada yang menjadi
1:20, dan kaum tani penggarap dikenakan pajak-pajak berat lagi.
Singakatnya nasib kaum tani penggarap kembali kepada "serba-salah",
berani bicara dicap G-30-3 dan tidak bicara dituduh memboikot
politik kekuasaan militer sekarang.
Tentang politik pemerintah yang ragu dan dikritik oleh PKI, adalah
politik yang kurang konsekwen dalam pelaksanaan politik anti-imperialis
dan pelaksanaan UUPA dan UUPBH. Contohnya tidak adanya ketegasan
dalam tindakan terhadap investasi imperialis AS dibidang perminyakan
yang merupakan sebagian terbesar devisen R.I.
Contoh lain, ialah tidak konsekwen melaksanakan UUPA dan UUPBH.
Akibatnya kaum tani penggarap mengadakan aksi-aksi untuk mengkonsekwenkan
pelaksanaan dua undang-undang tersebut. Tetapi anehnya justru
kaum tani yang mau melaksanakan Undang-undang yang ditindak tetapi
kaum tuan-tanah yang mengingkari Undang-Undang tidak dipersalahkan.
Inilah kenyataan "yang benar dipersalahkan, dan yang salah
dibenarkan. Tentang politik yang merugikan Rakyat dan ditentang
oleh PKI ialah politik finek yang berlainan dengan
Dekon,
yaitu menjadikan pertanian sebagai basis dan industri, sebagai
tulang-punggung dan politik menaikkan harga dan tarif untuk menannggulangi
kesulitan ekonomi semestinya dengan sungguh-sungguh dilaksanakn
social-support, social-control dan social-participation untuk
melikwidasi salah urus serta salah duduk. Satu-satunya jalan adalah
meniadakan "
steurleven" atau meniadakan"
kehidupan yang serba tak menentu, memper- panjang penderitaan
rakyat) dengan mengadakan Nasakomisasi disemua bidang sebagai
penyesuaian aparatur negara dengan tuntutan Manipol dan Dekon
untuk menumpas tiga sebab pokok kemelaratan Rakyat yaitu:
a) Kaum imperialis, terutama imperialis AS sebagai musuh utama
Rakyat-rakyat progresif sedunia;
b) Di desa menumpas 7 setan-desa:
- tuan-tanah jahat yang tidak mau melaksapakan UUPA dan UUPIH;
- penguasa jahat yang membela kepentingen tuan-tanah jahat;
- tengkulak jahat yang memeras kaum tani;
- tabir yang menyalah-gunakan kekuasan untuk memperkaya diri
dengan memeras kaum tani;
- bandit desa yang manjadi centeng (tukang pukul tuan-tanah);
- takang ijon [money lenders];
- lintah-darat yang menjerat kaum-tani dalam hutang sepanjang
hidupnya.
c) Di kota menumpas 3 setan kota baik sipil maupun militer yaitu:
- Kabir (?) (kapitalis ?)
- Penipu (?); dan
- Koruptor [corrupt officials].
Dalam pengalaman tindakan terhadap pejabat militer adalah lebih
sukar, sesuai dengan pepatah: "
blood is thicker than water",
atau ikatan korps (kesatuan) adalah lebih kental daripada ikatan
hukum.
Faktor sikap tersebut diataslah yang menjadi syarat mutlak untuk
menerapkan Dekon, jadi bukannya peraturan 26 Mei yang sebenarnya
menghancurkan Dekon dan yang menggantungkan diri kepada apa yang
disebut bantuan imperialis, bukannya memboroskan ekonomi Indonesia
kepada
export drive saja yang menjadikan Indonesia pasar
bahan mentah bagi kaum imperialis, persis seperti ekonomi kolonial
dulu. Politik ini akan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang
tergantung kepada imperialis dan bukan sebagai negeri yang berdikari.
Demikian mengenai sikap PKI terhadap Pemerintah untuk meniadakan
sebab-sebab adanya "sleur-leven" yang memperpanjang
kemelaratan Rakyat.
Bab II: menghadapi kemungkinan agresi imperialis:
Saya setuju dengan peringatan Presiden Sukarno bahwa
death-line
imperialis Inggris membentang dari Teluk Aden, kepulauan Andamanen,
"Malaysia" sampai Hong Kong. Untuk mempertahankan
death-line
sebagai
life-line terachir dari imperialis Inggris, logislah
jika Inggris memusatkan kekuatan armada angkatan lautnya, angkatan
daratnya dan angkatan udaranya di Malaysia dalam menghadapi politik
R.I. jang tepat yaitu bantu Kaltara mengganyang Malaysia. Jadi
pengganyangan Malaysia bukannya karena tidak mau rukun dengan
bangsa serumpun Melayu tetapi karena imperialis Inggris membentuk
federasi Malaysia untuk menumpas Kaltara jang memproklamasikan
diri bebas dari belenggu imperialis Inggris.
Inilah politik konfrontasi R.I. yang membawa suasana "
on
the brink of war", suasana di tepi jurang perang, konsekwensi
dari politik ini ialah menjadikan daerah R.I. sebagai daerah berlatih
dan beristirahat bagi para pejuang Kaltara, dan pejuang-pejuang
Sukarelawan R.I. bertempur membantu pejuang-pejuang Kaltara melawan
imperialis Inggris suasana,agresi imperialis Inggris yang ingin
mengamankan daerah belakangnya dan imperialis Amerika pasti membantu
sekutunya imperialis Inggris sebab Amerika Serikat takut kalau
semangat anti imperialis rakyat Indonesia yang tinggi menular
ke Pilipina, sebab akan mengganggu daerah belakang agresi imperials
AS di Vietnam. Gaya berpendapat pada waktu itu memang nyaris adanya
agresi imperialis, sehingga rakyat harus dibikin werrbaar dan
paraat. Caranya ialah mempesenjatai Rakyat dengan senjata dari
manapun saja, termasuk dari RRC. Rakyat yang bersenjata sebagai
pertahanan dan ketahanan nasional yang ampuh harus diatur dalam
ikatan organik yang saya rasakan cocok dengan dicetuskannya gagasan
Angkatan Kelima oleh Presiden Sukarno.
Dengan demikian Rakyat yang bersenjata adalah tubuh kekar dengan
ABRI sebagai tinjunya menghadapi agresi imperialis.
Dengan demikian Rakyat dan ABRI betul-betul menjelma sebagai air
dan ikan yang tak terpisahkan.
Inilah wurbaarlheid dan paraatheid rakyat yang tak terkalahkan
menghadapi kemungkinan operasi imparialis. Dalam suasana nyaris
agresi imperialis, saya kira tidak salah kalau AURI mengorganisasi
latihan-latihan sukerelawan sebagaimana diselenggarakan juga oleh
Angkatan-angkatan lainnya. Juga tidak keliru kalau massa anggota
PKI ikut serta dalam latihan sukarelewan oleh AURI [Angkatan Udara
Republik Indonesia], sebagaimana dilakukan pula oleh massa-anggota
partai lainnya untuk ikut serta dalam latihan Sukarelawan oleh
Angkatan Bersenjata lainnya.
Andaikata Angkatan ke-V terbentuk saya rasa tidak akan terjadi
latihan-latihan Sukarelawan yang terpisah-pisah, tapi semuanya
dapat diselenggarakan bersama sebagai suatu kesatuan oleh ABRI
secara bersama. Sekian mengenai Bab II.
BAB III: keadaan finek makin memburuk: saya berpendapat
pada waktu itu bahwa keadaan finek (finansiil dan ekonomi) makin
memburuk, harga-harga barang meningkat tinggi, dajy beli dan tingkat
hidup rakyat makin merosot. Secara pokok sebab-sebabnya telah
saya utarakan di depan.
Jalan keluarnya selalu oleh PKI diajukan konsep-konsep, antara
lain tidak setuju dengan politik kenaikan barga, menolak
deferred
payment, dan hukuman mati bagi koruptor-koruptor besar. Konsep-konsep
PKI ada yang disetujui Pemerintah, tetapi setelah menjadi keputusan
resmi tinggal sebagai keputusan di atas kertas belaka. Malahan
lucunya tidak jarang suatu keputusan diembel-embeli dengan pembentukan
lembaga-negara baru yang berarti: menambah beban anggaran belanja
negara, menyimpang-siurkan wewenang, tugas dan peraturan, serta
memacetkan Kementerian yang bersangkutan, karena wewenangnya tergeser
oleh lembaga negara baru. Padahal garisnya lembaga-lembaga negara
harus di-
streamline-kan atau disederhanakan yang menurut
hitungan kawan Njito jumlah lembaga negara pusat tidak kurang
dari 150 dan ada seorang pejabat yang menjabat sampai 32 jabatan
rangkap. Apakah ini bukan skeur? Disamping skeur, jika Rakyat
menuntut tanggung-jawab para Menteri tentang adanya skeur itu,
maka mereka lari berlindung dibawah kewibawaan Presiden Sukarno
dan menyatakan mereka hanya sekedar pembantu saja Mereka lupa
pembantu rumah-tangga biasa saja jika ada barang hilang bisa diperkarakan,
apalagi pembantu Presiden. Mereka lupa pada pantun:
cerutu bukan sembarang cerutu
cerutu cap Kapiten, mahal harganya.
pembantu bukan sembarang perbantu
pembantu Bapak Presiden,
besar tanggung-jawabnya.
Yang membahayakan ialah pikiran di pihak menteri-menteri yang
menganggap usaha swasta lebih baik daripada perusahaan negara,
sehingga ada gejala-gejala mau menswasta-kan perusahan-perusahaan
negara.
Secara sederhana pikiran ini hendak menunjukkan bahwa Kapitalisme
adalah lebih baik daripada Sosialisme, padahal haridepan revolusi
Indonesia menurut Manipol adalah Sosialisme dan bukannya Kapitalisme.
Pikiran mereka itu adalah menentang hari depan. Mereka memang
sengaja mempertahankaln "steur leven" karena sudah
vested
interest sebagai OKB (Orang Kaja Baru), dan mereka sengaja
menutup mata terhadap adanya perusahaan-perusahaan negara yang
menguntungkan seperti beberapa pabrik gula, pabrik semen Gresik
dan tambang timah Bangka sebab:
a). Kaum buruh mau memberikan social-support, karena ada kebebasan
demokratis dan dijamin sekedar perbaikan tingkat hidupnya;
b). Kaum buruh diberi hak social-control dengan diikutsertakan
dalam Dewan Perusahaan yang mengawasi management dan maintenance
perusahaan;
c). Kaum buruh diberi social-participation, dengan diikutsertakan
dalam Dewan Direksi untuk bersama-sama menentukan planning mengadakan
meer-produksi jang sebagian daripada hasilnya digunakan untuk
sekedar kesejahteraan kaum buruh.
Inilah yang menyebabkan adanya sekedar arbeidsvreugde di kalangan
kaum buruh. Semuanya itu menunjukan bahwa jalan ke Socialisme
bukannya jalan yang bertaburan bunga, tapi jalan yang penuh dengan
duri dan jurang curam. Orang bisa sepanjang hari berkomat-komit
setuju Socialisme" sebagai
lip-service, tapi menghantam"
habis-habisan pelaksanaan sosialisme dalam praktek.
Sekian Bab III
BAB IV, pimpinan kanan AD berpolitik mengisolasi PKI:
berdasarkan informasi-infornasi dari kawan DN Aidit yang teliti
dalam menerima informasi-informasi dan cukup memiliki saluran
sebagai Menko untuk mencek, maka dijelaskan bahwa pimpinan kanan
AD berpolitik mengisolasi PKI. Hal tersebut saya benarkan dan
yang saya ingat antara lain dihebohkannya penjelasan kawan DH
Aidit mengenai persetujuan PKI terhadap Pancasila. Serba sulit,
diam tentang Pzncasila dituduh anti, menerima Pancasila dicap
sekedar muslihat. Padahal di konstituante PKI adalah salah satu
partai yang gigih membela Pancasila. Lalu dokumen palsu tentang
rencana kudeta PKI yang sudah digugat oleh DN Aidit dalam pertemuan
partai-partai di Bogor masih saja disiarkan dikalangan AD bahwa
dokumen itu betul. Padahal semestinya bersama-sama mencari konseptornya
dan bertindak terhadap konseptor itu. Pada permulaan tahun 1965
Jenderal Yani di depan Resimen Yogya menerangkan bahwa kalau tergantung
padanya sebaiknya hanya ada satu partai Pancasila, dan alat penghubung
dengan massa yang dapat diandalkan oleh AD adalah SOKSI [Sentral
Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia], sehingga adanya SOKSI
perlu dipartahankan. Ini berarti bagi saya bahwa perlu dilikwidasinya
partai-partai yang ada, terutama PKI dan ormas-ormas PKI harus
ditandingi antara lain Sobsi dihadapi Soksi. Setelah ulang tahun
ke-45 PKI sukses, disiarkan dikalangan AD bahwa PKI bukannya menunjukan
kekuatannya tetapi sudah menunjukkan gigi untuk bertindak, padahal
PKI tidak ada niat untuk itu. Politik Nasakom bersatu yang disetujui
oleh PKI diubah menjadi Nasakom jiwaku. Bagi saya,, ini berarti,
bahwa kalau sudah berjiwa Nasakom, maka tidak perlu lagi adanya
Kom, tidak perlu lagi adanya PKI. Padahal Nasakom adalah persatuan
dari tiga aliran politik yang hidup di Indonesia. Kemudian disuruh
oleh penjelasan Jenderal YANI pada tanggal 27 atau 28 Mei di depan
rapat para Panglima daerah AD, bahwa Jenderal YANI sendirilah
yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas, memberikan penilaian
politik. Jadi tidak sebagai badan yang memberikan pernilaian kenaikan
pangkat, sebab untuk itu sudah ada Panitia Jenderal Sudirman sebagai
penggan ti Panitia Jenderal Gatot. Menurut kawan DN Aidit politik
Dewan Jenderal berproses kepada penyelesaian formasi Kabinet dan
tindakan Kudeta yang diperkirakan pada peringatan Hari Angkatan
Perang. Persispan-persiapan ke arah itu nampak dengan menarik
kekuatan politik lainnya untuk diajak mengisolasi PKI, yaitu pertemuan
pimpinan AD dengan PNI [Partai Nasionalis Indonesia] pada tanggal
8 Juni 1965 dirumah Sdr Chaerul Saleh. Jika mau menggalang parsatuan
semestinya pertermuan semacam itu diadakan juga dengan partai-partai
lain termasuk PKI. Hal ini tidak terjadi, sehingga jelas yang
dimaksud ialah mengubah sepenuhnya sesudah G-30-S gagal dengan
ikut campurnya langsung pimpinan AD dalam intern PNI. Sedangkan
terhadap sesama partai marhaenisnya dilakukan politik "biar
mati dengan sendirinya". Sesudah pertemuan 8 Juni tersebut,
oleh SUAD I tertanggal 12 Juni 1965 diadakan edaran yang pokoknya
memperingatkan bahwa yang terjadi di daerah-daerah terutama di
Jatim/Jateng bukannya konsultasi Nasakom tetapi konfrontasi Nasakom
dan masalah tanah menjadi hangat. Oleh karena itu disimpulkan
supaya para pejabat baik sipil maupun militer untuk tidak menggunakan
istilah-istilah seperti integrasi dengan Rakyat, sebab penggunaan
istilah semacam itu sudah memihak, dan mengawasi pelaksanaan
landreform.
Dalam praktik ini berarti mengawasi gerakan rakyat, mengawasi
PKI dengan ormas-ormasnya, dan bertindak terhadap pelaksanaan
landreform terbatas, bertindak terhadap BTI dan PKI. Jurusannya
tidak bisa lain kecuali pembekuan PKI dengan ormas-ormasnya, yang
pernah dialami oleh PKI dengan peristiwa 3 S (Sulawesi, Selatan,
Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan). Kemudian pada permulaan
Agustus 1965 ada keputusan KOTI kalau tidak keliru no. 86 yang
mengatur pembatasan lebih ketat lagi kebebasan demokratis dengan
alasan untuk pengamanan rencana ekonomi KOTU, yang kolonial ialah
melulu mendasarkan kepada
export-drive. Semua penjelasan
kawan DN Aidit saya benarkan, sebab saya berpendapat untuk menjamin
berlangsungnya kekuasaan militer harus dilakukan pembatasan hak-hak
demokrasi dan dilakukan politik mengisolasi PKI sebelum dapat
dilikwidasinya. Selamanya PKI berjuang untuk kebebasan demokratis
dan menolak kekuasaan militer. Oleh karena itu PKI, selalu berjuang
menuntut penghapusan SOB, dan setelah SOB hapus mensinyalir bahayanya
"SOB tanpa SOB". Sesungguhnya secara hakekat kekuasaan
militer itu sudah ada sejak SOB. Walaupun SOB hapus tapi kekuasaan
militer tidak berubah posisi, dan dengan gagalnya G-30-S menjadi
terealisasi sepenuhnya. Walaupun secara resmi bukan sebagai partai
politik, tetapi hakekatnya AD adalah partai politik yang politik
umumnya ditentukan oleh Seminar AD semacam Kongres partai antara
dua seminar AD pelaksanaan politiknya dilakukan oleh Komando golongan
karya AD semacam Dewan Pimpinan Pleno partai, dan politik praktis
sehari-hari dilaksanakan oleh para Menteri AD dalam Kabinet semacam
Dewan Harian partai. Malahan pimpinan kanan AD telah menentukan
diri sebagai faktor stabilisasi, ini berarti, kekuasaan negara
sepenuhnya di tangan kekuasaan militer, de overwinning is kompleet
inihanden. Jadi diktator militer yang ditentang oleh G-30-S dan
Dewan Revolusi sekarang menjadi kenataan. Dan meng-ekskomuniskan
atau meng-eksklusifkan PKI yang ditentang oleh PKI sekarang menjadi
kenyataan. Politik kiri R.I. bermutasi menjadi kanan. Sekian Bab
IV.
BAB V, perwira-perwira maju dipimpin eks Letkol Untung
mendahului bertindak untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal:
Kawan DN Aidit menjelaskan hal tersebut yyang saya yakini akan
kebenarannya. Sebab Dewan Jenderal saya artikan sebagai potensi
politik kanan dari pimpinan AD yang bertujuan untuk berdominasi
penuh dalam kekuasaan negara, sebagaimana sekarang menjadi suatu
kenyataan, setiap kekuasaan adalah diktatur dan kekuasaan militer
adalah diktatur militer. Hal inilah yang mau dicegah oleh perwira-perwira
maju dibawah pimpinan ex Letkol Untung yang mau mendahului bertindak.
Saya setuju, sebab sejak dulu saya berjuang anti-militerisme.
Dan sudah tentu persetujuan saya itu didasarkan kepada perkiraan
bahwa segala sesuatunya sudah diperhitungkan dengan baik dan secara
militer memang ada dalik yang menyataken bahwa "
aanval
is de beste verdediging" atau "menyerang adalah
pertahanan yang terbaik". Selain itu suasana pada waktu itu
diliputi oleh sakitnya Presiden Sukarno yang serius. Semua anggota
pimpinan PKI menjadi prihatin. Dibalik keprihatinan itu sebagai
seorang politik harus memikirkan pengamanan atau "safe-steleen"
politik kiri Presiden Sukarno. Saya perkirakan, bahwa tindakan
perwira-perwira maju itulah yang akan dapat "safe-steleen"
politik kiri Presiden Sukarno, apalagi situasi politik pada waktu
itu sebagai situasi politik revolusioner, jang berciri;
- Pemerintah terpaksa menyesuaikan politiknya dengan tuntutan
massa Rakyat banyak;
- Politik Pemerintah ditentukan di pabrik, perkebunan-perkebunan
dan desa oleh massa-aksi Rakyat; dan
- Aksi-aksi Rakyat terus meningkat dalam birofensi revolusioner
Jadi perkiraan saya pada waktu itu tindakan para perwira maju
dengan Dewan Revolusionernya yang Nasakom bersama Presiden Sukarno
akan menyudahi "steur-leven" dan mengkonsekwenkan Panca
Azimat, yaitu:
- Nasakom (1926)
- Pancasila (1945)
- Manipol (1959)
- Trisakti (1964)
- Berdikari (1965)
Tindakan tersebut bukan untuk memenuhi sebait sajak Inggris:
Man is a fool
When it's hot, he wants it cool
When it's cool, he wants its hot
He always wants what he has not,
tapi untuk mendekati kalau belum dapat meluluskan
rising-demands
massa Rakyat banyak.
Berdasarkan 5 Bab pokok persoalan tersebut diatas, dan berdasarken
tanggapan saya mengenai segenap penjelasan kawan Aidit yang menurut
pengalaman saya senantiasa teliti dalam menghitung imbangan kekuatan,
maka dasar-dasar itulah merupakan latar belakang saya untuk menyetujui
tindakan para perwira maju yang menjurus kepada G-30-S pada akhir
bulan September/permulaan 1 Oktober 1965 dalam Pemerintahan dibawah
kekuasaan Presiden Sukarno, sebab keyakinan saya ialah, dengan
Dewan Revolusi bersama Presiden Sukarno, maka:
PERTAMA: akan dapat dikonsekwenkan politik anti-imperialis
dan anti tuan-tanah terbatas daripada Pemerintah R.I.;
KEDUA: akan lebih weerbaar dan paraat Rakjat
dalam menghadapi kemungkinan agresi imperialis;
KETIGA: akan dapat dikonsekwenkan pelaksanaan
Dekon untuk menanggulangi kesulitan ekonomi dengan meritul dan
men-Nasakom-kan aparatuur finek, serta bertindak terhadap kaum
imperialis, 7 setan desa dan 3 setan kota;
KEEMPAT: akan dapat dicegah adanya diktatur militer,
dilakukan penghapusan SOB tanpa SOB, dan diadakan Nasa komisasi
disemua bidang;
KELIMA:.akan dapat direalisasi dengan baik Panca
Azimat.
Jawaban hendak saya tutup dengan mengemukakan bahwa cukuplah sudah
penjelasan saya dari saya telah bulat dalam perasaan, pikiran
dan hati untuk teguh pada pernjataan saya tertanggal 21 Desember
1966.
Sekian.
Jakarta, 3 Januari 1967.
Pembuat jawaban,
ttd.
SUDISMAN
Berdasarkan penjelasan saya tersebut diatas dan sesudah mempelajari
Pleidoi Sdr. ex Brigjen. Suparjo perlu saya tandaskan bahwa:
PERTAMA: Saja yakin bahwa Dewan Jenderal itu ada,
berdasarkan dikemukakan oleh kawan Aidit, yaitu antara lain penjelasan
Sdr. Jenderal Yani almarhum pada tanggal 27 Mei atau tanggal 28
Mei 1965: didepan rapat Panglima AD, bahwa Sdr. Jendera1 Yani
sendirilah yang membentuk Dewan Jenderal yang bertugas memberikan
penilaian politik, kalau masih tersimpan baik tentunya risalah
(notulen) rapat tersebut masih utuh dan dapat diteliti. Keyakinan
saya menjadi tambah kukuh dengan penegasan Sdr. ex Brigjen Suparjo
yang dimuat dalam pleidoinya, halaman 31, ialah sebagai berikut:
"Saya mengusulkan agar diadakan suatu Mahkamah Nasional jang
dapat mengadili kedua belah pihak. Yaitu mengadili G.30.S. seperti
MAHMILUB sekarang ini, tapi juga mengadili Dewan Jenderal dilain
pihak. Karena seperti yang saya pernah jelaskan G.30.S. tidak
berkelahi sendirian; tentu ada yang dilawan. Dan menurut G.30.S.
lawannya adalah Dewan Jenderal. Sampai sekarang yang terus diadili
adalah mereka-merreka dari G-30-S. yang dituduh G.30.S. dan mereka-mereka
yang dapat dituduh G-30-S. Bagaimana dengan para anggauta Dewan
Jenderal atau yang dapat dituduh Dewan Jenderal. Bila diperlukan
saya mempunyai beberapa bahan untuk memulai dengan pengusutan
hal tersebut:
a). Keterangan bahwa Dewan Jenderal itu ada;
b). Kegiatan-kegiatan pada masa proloog yang menjurus kearah itu;
c). Kegiatan-kegiatan semasa meletusnya G-30-S.;
d). Bahan-bahan pengusutan pada masa epiloog, teratama dalam rangka
meminta pertanggungan jawab atas pembunuhan terhadap sekian banyaknya
Rakjat."
Sungguh sayang dan sangat disesalkan bahwa Sdr. ex Brigjen Suparjo
yang saya minta sebagai Saksi à décharge tidak dapat
didatangkan Andaikata dapat didatangkan, maka dengan tanya jawab
dalam Sidang MAHMILUB ini akan dapat disingkap penjelasan-penjelasan
lebih lanjut . Adil sepihak ini sangat berlawanan dengan rasa
keadilan yang ada pada saya. Kalau PKI mengadakan aksi sepihak,
dihebohkan bukan kepalang tanggung, tapi kalau dalam sidang MAHMILUB
ini terjadi adil sepihak dianggap sah dan "never mind"
kalau tidak boleh dikatakan tidak perduli. Tentunya alasan-alasan
saya tersebut di atas akan dipukul dengan sanggahan bahwa "Panitia
Udang" sudah mengumpulkan semacam petisi atas inisiatif Sdr.
Jenderal Nasution, bahwa Dewan Jenderal itu tidak ada. Jika hal
ini digunakan sebagai bahan pukulan, maka dalam bathin saya akan
ketawa, sebab siapa yang berani pada waktu itu menjatakan "Dewan
Jenderal" memang betul ada. Sedangkan Sdr. Dr. Subandrio
yang tidak mau memberikan keterangan tentang hal tersebut menjadi
bulan-bulanan dalam sidang Mahmilub dan hasil peng-Mahmillub-an
Sdr. Dr. Subandrio mendapat gelar M.T., singkatan dari "mati".
Sindiran Rakyat memang tajam dan secara kreatif Rakyat selalu
menemukan sesuatu, antara lain pernyataan bahwa, baik salah maupan
benar Mahmilub hanya membagikan dua gelar, jaitu: "M.T."
bukannya "
Master in Teaching" atau "SH"
bukannja Sarjana Hukum" tapi Seumur Hidup. Semuanya ini sesuai
dengan sifat keluarbiasaan militer. Kembali kepada masalah Dewan
Jenderal oleh kawan Aidit diterangkan bahwa politiknya kanan dengan
ciri:
a). Tidak anti Imperialis;
b). Tidak anti Tuan Tanah;
c). Anti Nasakom.
Dalam proses sesudah G-30-S. gagal ternyata ciri politiknya kanan
tersebut dilaksanakan oleh kekuasaan militer sekarang yang secara
hakekat dipimpin oleh sdr. Jenderal Nasution dan Sdr. Jenderal
Suharto yang secara berangsur-angsur meluncur secara diam-diam
(
geruischloos) telah "menaragadingkan" Bung Karno
alias "mengamankan" alias "menahan" Bung Karno.
Karena kuasa sudah dengan sendirinya segenap perbuatannya adalah
sah dan adil, walaupun berlawanan dengan rasa keadilan Rakyat
banyak. Demikianlah masalah pertama tentang adanya Dewan Jenderal.
KEDUA: Karena ada Dewan Jenderal maka kawan Aidit menjelaskan
dengan meyakinkan bahwa ada perwira-perwira maju dan G.30.S. yang
mengadakan operasi militer membentuk Dewan Revolusi.
aya yakin akan kebenaran penjelasan kawan Aidit bahwa memang benar
ada perwira-perwira maju tersebut sesudah mendalami pleidoi Sdr.
ex Brigjen Suparjo, halaman 5 yang antara lain mengemukakan persoalan
sebagai berikut: "Apakah Sdr. Saksi (Sdr. Omar Dani) masih
ingat, bahwa saya (Sdr.Suparjo) pernah mengusulkan kepada Saksi
(Sdr. Omar Dani) untuk menghadapkan perwira-perwira yang ontevreden
terhadap Dewan Jenderal kehadapan Presiden ? Oleh Sdr. Omar Dani
dijawab: "masih ingat betul malah lama sebelumnya".
Demikian pleidoi Sdr.Suparjo. Perwira-perwira yang ontevreden
itulah yangdimaksud oleh Kawan Aidit sebagai perwira-perwira maju
yang mempertahankan dan membela politik kiri dan pribadi Presiden
Sukarno, ciri politiknya ialah:
(a). Anti-imperialis;
(b). Anti-tuan tanah;
(c) Pro-Nasakom.
Dalam proses sesudah G.30.S. gagal ternyata ciri politik kiri
tersebut dilaksanakan oleh perwira-perwira dalam bentak melawan
pendongkelan terhadap Presiden Sukarno yang berkonsekwensi mereka
meringkuk dalam tahanan antara lain: Sdr. Kolonel Bambang Supeno,
penggali "Sapta Margo" dari rumpun "Browijojo"
dan Sdr. Brigjen. Sukendro. Mereka bukan komunis malah bersimpatipun
tidak, tapi antara mereka dan PKI ada persamaan politik dalam
mempertahankan dan membela politik kiri dan pribadi Presiden Sukarno
sungguh suatu komedi sejarah, suata lelucon sejarah, bahwa Indonesia
yang ber-Pancasila membungkam penggalinya ialah Bung Karno, dan
ABRI yang ber-Sapta Marga membrangus penggalinya ialah Sdr. Kolonel
Bambang Supeno. Karena kuasa tentunya tindakan ini adil, walaupan
bertentangan dengan rasa keadilan. Sungguh sayang dan sangat saya
sesalkan bahwa kawan-kawan Aidit, Lukman dan Njoto yang saya minta
sebagai saksi-saksi á décharge tidak dapat didatangkan
dengan alasan diplomatis ialah "hingga kini tidak /belum
dalam penguasaan yang berwajib". Alasan diplomatis tersebut
sama sekali tidak sesuai dengan sifat militer persidangan Mahmilub
ini, yang seharusnya bersikap tegas. Kalau sudah ditembak mati
katakanlah terus terang dihadapan Mahmilub ini, bahwa mereka sudah
"ditembak mati" dengan alasan-alasan yang meyakinkan
berdasarkan hukum yang berlaku sah di Republik Indonesia. Jika
alasannya tidak meyakinkan tentu saya berhak, tentu saya "gerchtig"
untuk bertanja apakah di R.I. sedang berlangsang "terreur
dan schrikbewind"? Ya, malahan kawan Lukman ditembak mati
bersama kurirnya, kawan Drs. Saleh Junaedi. Berturut-turut kawan
Aidit dihabisi sekitar tanggal 25 November 1965, kemudian kawan
Njoto di sekitar tanggal 6 Desember 1965, lalu kawan Lukman di
sekitar tanggal 30 April 1966. Alasan diplomatis yang biasanya
dicap plin-plan oleh kekuasaan militer sekarang adalah tidak sesuai
dengan sifat kesatria seorang militer yang dikenal "jujur
dalam janji, kata dan konsekwensi perbuatannya".
Saja kemudian
ingat akan dunia pewayangan ialah sekelumit fragmen dari cerita
pakem pedalangan Rama Wijaya tentang penggunaan GUHYA WIJAYA secara
salah yang saya ibaratkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan secara
sewenang-wenang,"Guhija Wijaya" memang senjata ampuh
senjata pemunah yang tidak pilih sasaran. Karena ita justru berbahayalah
bila senjata itu tidak dikendalikan atas dasar heningnya cipta,
kesadaran dengan tujuan untuk mengabdi Kebenaran sebagai dasarnya.
"Pada suatu ketika, sewaktu Ramawijaja menerima percobaan
Dewata dengan hilangnya Sinta karena dilarikan Rahwana Raja, maka
ia mengeluh. Mengeluh yang disaksikan oleh adiknya Laksmana. Keluhan
bathin yang ditujukan kepada kelilingnya Angin, Mega, semak-semak
serta pepohonan diumpatnya; mengapa mereka membisu, padahal mustahil
bila gunung-gunung dan sebagainya itu tidak tahu kemana perginya
Sinta. Gundah hatinya begitu hebatnya, sehingga sejenak lupalah
ia akan tugas utamanya sebagai pemayu-ayu jagad raja ini. Merah
telinganya, berlinanglah sudut matanya. Dengan gemetar ia meraba
astra panah pemanah: dengan Guhya Wijaya ia hendak melebur awan
dan dunia. "Laksmana mengetahui dan mengerti gelagad kemarahan
kakaknya. Ia segeralah bersimpuh, mencium kaki kakaknya dengan
isak jang tak tertahan: "O, kakanda Rama. Paduka hendak berbuat
apa lagi? Tahulah hamba dan tahauah semuanya yang paduka panggil
bahwa paduka lagi kecewa, pedih dan kesal hati.
Bukanlah semenjak dahalu raja dan brahmana dan kesatria jang merasa
diri pernah beramal kebajikan, merasa kecewa di saat-saat tertentu
yang tak dikehendaki sendiri? Paduka kini meluapkan gelombang
amarah. Hendak melebur bumi dan udara sekaliannya? Bukanlah kita
hanya menumpang hidup padanya? Sestungguhnya sesekali manusia
akan benci pada diri sendiri. Tetapi bukanlah hidup ini ada: Kesetiaan
cinta kasih dan harapan? Ketiga-tiganya adalah kunci abadi. Membuat
kita berlembut hati, sabar mau mengalah ikhlas dan tahu berterima
kasih.
"Kata para sarjana itulah kunci untuk menjangkau dan mencari
cita-cita betapapun tingginya. Dan orang akan sampai padanya.
Tidakkah ini merupakan jalan jang lebih baik daripada menuruti
genderang dendam hati yang kesal dan murung, sehingga paduka hendak
melebur bumi dan adara dengan senjata pemunah Guhya Wijaya.
"Mendengar isak adiknya itu, luluhlah amarah Rama. Dengan
lemas lunglai dipeluknya adiknya, setelah menurunkan busur yang
telah siap direntang, keduanya malah menjadi menangis berpelukan.
Alam turut terharu menyaksikannya. "Atas ketajaman pandangan
kewaaspadaan serta kebijaksanaan Laksmana, terhindarlah dunia
dari malapetaka, dan terhindarlah senjata ampuh Guhya Wijaya dari
keruntuhan dan kehancuran. Itulah sekelumit fragmen dari cerita
dunia pedalangan.
Dari fragmen itu saya dapat menarik pelajaran
supaya jangan sampai karena mentang-mentang berkuasa terus main-
main serampangan, main gebyah uyah karena kekecewaan, kepedihan
dan kekesalan hati, menggelombangkan diri dalam amarah. Jika tidak
dalam amarah dan merasa dirinya benar dan kuat, maka kekuasaan
militer sekarang tidak usah mematikan kawan-kawan Aidit, Lukman
dan Njoto tanpa melalui proses pengadilan. Demi sembojan Mahmillub
sendiri jaitu "
Pro Justisia" atau "untuk
keadilan" dan bukannya karena 'dumeh Kuasa" ("mentang-mentang
kuasa"), saya mengharapkan jawaban apakah tindakan itu adil
dan sesuai dengan rasa keadilan Rakjat banyak untuk membina supaya
kita benar diri tidak lupa daratan maka seorang Jawa biasa berselogan
"Ojo dumeh" yang terasa sukar bagi saya untuk menemukan
terjemahannya yang sreg dalam bahasa Indonesia. Kalau diurai kenapa
karena "mumpung" atau "dumeh kuasa" bartindak
sewenang-wenang diperingatkan secara halus dengan "ojo dumeh"?
Saja berpendapat bahwa sebab musababnya masalah ini timbul adalah
sebagaimana diterangkan oleh Sdr. MJ Prajogo, kalau tidak keliru
perwira CPM dalam tulisannya dimajalah Tentara, pada tahan 1964,
sebagai berikut: "
dengan meningkatnya usia, baik dari
individu maupan organisasi; biasanya timbul kecenderungan mengingkari
adanya perobahan dan pembaruan dan yang akan lebih suka untuk
mengadakan pembatasaan-pembatasan itu dikira akan tercapai suatu
stabiliteit dalam hal pemikiran, perasaan serta keadaan, suatu
stabiliteit dalam suatu kehidupan." Saya sangat setuju
dengan pendapat sdr. M.J. Prajogo ini dan apabila rumus Sdr. M.J.
Prajogo itu diuji kebenarannya dapat ditemukan dalam tulisan Sdr.
Ds. P.T. Sarumpait, kolonel Tituler dari Pusroh Protestan AD,
dalam bakunya kalau tidak keliru "Kepribadian TNI dan seterusnya.....
yang antara lain mengemukakan risalah sebagai berikut: "Tugas
dari TNI lebih mengandung arti melayani pemerintah Negara dan
masyarakat. Melayani dalam arti yang baik yaitu: menyediakan diri
untuk kebahagiaan semuanya. Salah satu akibat dari keadaan S.O.B.
yang terlalu lama ialah bahwa seorang tentara tidak merasa dirinya
lagi sebagai bayangkari, tetapi sudah lebih merasakan dirinya
sebagai penguasa dan insyaf atau tidak insyaf tindakannyapun menunjukkan
corak itu pula; kita juga menginsyafi benar-benar bahaya yang
mengancam apabila, pembela masjarakat itu beralih menjadi penguasa.
Mungkin didalam hal inilah nilai daripada "baju ijo"
yang dulunya sangat tinggi di mata masjarakat makin lama makin
luntur, makin tidak mendapat simpati dari masjarakat. Kiranya
aspek melayani ini jangan sampai hilang dari kepribadian TNI.
Dan sejajar dengan itu TNI adalah pembela. ..Rakyat dan bukan
penguasa dan lain sebagainya. Memang setiap orang dapat mengakui
bahwa tugas seorang tentara adalah bangat berat. Tetapi janganlah
oleh karena itu, seorang tentara menganggap dirinya diperbolehkan
melakukan tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan kerugian moril
dan tentara itu sendiri dan juga mungkin juga bisa menyakiti hati
Rakyat dan pemerintah. Dengan menetapkan diri sendiri saya sengaja
mengambil pendapat-pendapat orang-orang bukan komunis dan juga
tidak dari sarjana-sarjana Belanda atau lainnya, supaya kita dapat
menggali dari dalam masyarakat Indonesia sendiri. Semua yang saya
katakan tersebut di atas adalah fakta-fakta dan pepatah Inggeris
menyatakan, bahwa "
facts are stronger than words"
(fakta-fakta adalah lebih kuat daripada kita). Sangguh interesant
dan apakah kiranya yang akan dikatakan oleh sdr. Ds. P.T. Sarumpaet
setelah sebagian Jenderal menetapkan bahwa
AD adalah faktor
stabilator dan
penentu sebagai hasil dari seminar AD
setahun yang lalu. Andaikata hal yang sama yaitu menetapkan diri
sebagai faktor stabilator dan penentu" ini dikatakan oleh
PKI pasti akan digegerkan "
Zie je nou wel, PKI mau
menang sendiri."
Sebagai faktor stabilator dinamisator dan penentu, maka saya berpendapat,
bahwa:
(a). AD sebagai penentu atau bisa terjadi disesuaikannya
politik Jenderal-jenderal kanan AD untuk mempercepat dan memperbanyak
penyesuaian politik tingkat atas, sehingga jumlah Jenderal makin
menjadi bertambah. Dalam Komisi C DPR-GR AD dulu pernah dihitung-bitung
bahwa jumlah jenderal tidak kurang dari 150 membawai kekuatan
tentara kurang lebih 350.000. Ini berarti seorang Jenderal membawai
lebih kurang 2500 anak buah, atau seorang jenderal memimpin satu
Resimen, padahal kenjataannya suatu resimen pada umumnya dipimpin
oleh seorang Letnan Kolonel,
Selama sebagai anggota Komisi C DPR-GR dapat saya mengerti perassan
tidak puas tentang pengangkatan-pengangkatan politik yang kadang-kadang
terjadi naik sampai 2 kali naik pangkat setahun.
Ketidakpuasan itu tercermin dalam cetusan-cetusan seperti: "nggak
naik pangkat nggak petheken" (tidak naik tidak mengapa, dalam
nada serius ada Kolonel blawuken - lumuten atau SH akan seumur
hidup, artinya sekali Kolonel tetap Kolonel, karena kebetulan
tidak dekat dengan pihak atasan yang berwenang memberi kenaikan
pangkat politik.
Hal-hal demikian bisa menimbulkan apati atau sinesme dikalangan
para perwira yang bisa membahayakan spirit juangnya dalam tugas
pertahanan. Saya tidak mengatakan bahwa dengan demikian akan terjadi
inflasi jenderal, tidak. Tapi jang terang banyak jenderal yang
tidak langsung aktif dalam dinas militer, karena dapat penugasan
dibidang-bidang non militer. Saya takut bahwa akibatnya ialah
sebagai militer mengurus semua bidang kecuali bidang militer itu
sendiri.
Mudah-mudahan saja jangan sampai demikian. Lazimnya jika atasan
penuh dengan kesibukan lupa pada bawahan, dan sesudah hampir 22
tahun merdeka, untuk naik pangkat dan prajurit Bintara harus melalui
jenderal-jenderal: 1. PRADA, 2. PRATU, 3. PRAKAT 4. KOPDA, 5.
KOPTU, 6. KOPKA, 7. SERDA, 8. SERTU, 9. SERKA, 10. SERMA, ll.PELDA
dan 12 PELTU. Jadi untuk naik pangkat dari Tamtama menjadi Bintara
dibutuhkan 12 jenjang, dan jika kenaikan sejenjang dibutuhkan
2 tahun, maka baru dalam waktu tidak kurang dari 10 tahun baru
menjadi Bintara dan sekaligus dipensiunkan. Hal lain tentunya
sudah sama-sama kita maklumi bahwa bawahan kalau dapat IB (izin
libur) terpaksa tidak dapat menggunakannya, walaupun sudah diusahakan
dengan setengah mati melalui "ngobyek" atau "cari
rejeki". Kalau toh pergi, terpaksa menjawab "orba"
sewaktu ditarik karcis "orba" bukannya "orde baru"
tetapi dalam hal "Ora Bayar". Kecuali itu bukannya suatu
rahasia lagi, bahwa ini bawahan makan rangsum dengan lauk tempe
atau tahu raup (cuci muka), artinya dengan tempe dan tahu godok
yang tidak masak betul. Semua ini perlu saya kemukakan untuk menunjukkan
bahwa nasib bawahan sudah betul-betul mepet, mereka betul-betul
hidup sebagai "
prajurit, dalam arti perasojo, jujur lan
arif" (sederhana, jujur dan hemat). Sebabnya hal-hal
yang sampai demikian itu bisa terjadi karena sampai sekarang belum
ada U.U. Pokok Pertahanan sebagai sumber untuk mengatur perundang-undangan
organik lainnya. Tujuannya yalah tak lain kecuali untuk meletakkan
dasar dasar pertahanan R.I. dan menyederhanakan jenjang pangkat,
dengan maksud mendekatkan atasan dan bawahan. Sewaktu masih menjadi
anggota Komisi C DPR-GR dan Wakil Ketua Sub Komisi C (Pertahanan)
MPRS dsb itu telah saya ajukan.
Ini perlu saya kemukakan untuk membuktikan bahwa saya dan PKI
tidak seujung rambut-pun anti ABRI, dan PKI pernah menjelogankan
"Dwitunggal, ABRI dan Rakyat" dan untuk Tertib Sipil
Bantu Polisi". Jang benar-benar ialah saya dan PKI tidak
setuju politik kanan beberapa jenderal AD.
(b). AD sebagai penentu akan bisa menjurus kearah
politik jenderal-jenderal kanan AD di bidang anggaran belanja
AD dengan menyedot anggaran belanja keatas yang berakibat tidak
menguntungkan bawahan. Tentang anggaran belanja negara, tepat
apa yang dikatakan Presiden Sukarno dalam pidatonya 17 Agustus
1966, bahwa sebagian besar anggaran belanja negara adalah untuk
ABRI lebih kurang 60%, dan dari sekian besar anggaran belanja
itu yang terbesar ialah untuk AD.
Demikian juga tentang pinjaman dari luar negeri sebesar 2, 3 miljard
dolar AS, dimana yang l, 3 miljard dolar AS adalah dari Uni Sovyet,
benarlah bahwa sebagian besar anggaran belanja itu digunakan untuk
perlengkapan modernisasi ABRI. Jika betul-betul mau jujur, mustahilah
kalau sdr Jenderal Nasution tidak tahu, bahwa selama menghancurkan
pemberontakan PRRI/PERMESTA dari RRC didapat bantuan senjata seharga
lebih kurang 28, 8 juta dolar AS jang kemudian ditiadakan (di-kwyschedea)
pinjaman itu oleh permintah RRC dengan alasan bahwa persenjataan
itu digunakan untuk menghancurkan karena kontra revolusioner yang
berpolitik satu dengan imperialisme AS. Andaikata bukan Presiden
Sukarno yang dikenal berpolitik kiri dan anti-imperialis, saja
rasa Uni Sovyet dan RRC tidak akan memberi bantuan, dan tanpa
bantuan tersebut tentu perkembangan ABRI tidak akan semodern seperti
sekarang.
Hati siapa yang tidak memberontak menatap kenyataan, bahwa Presiden
Sukarno yang berjasa dalam memodernkan ABRI didongkel, sedangkan
pengkhianat dr. Sumitro yang sudah mengabaikan keadaan finek Indonesia,
dan pernah mengatur perongrongan diluar negeri terhadap R.I. mendapat
kehormatan menduduki singgasana penasehat ekonomi pemerintah.
Pengkhianat dr Sumitro yang sudah terang-terangan ikut serta memimpin
pemberontakan membentuk negara di dalam negara R.I., dinyatakan
masalahnya sudah beres (
clear) dan pengkhianatannya dianggap
tidak ada, sedangkan G-30-S yang jelas-jemelas tidak membentuk
negara dalam negara, tapi tetap taat pada Presiden/Pangti ABRI
Sukarno sudah banyak yang telah dijatuhi hukuman mati Timbulah
pertanyaan, apakah tindakan itu sungguh-sungguh sesuai dengan
rasa keadilan rakyat. Jika dijawab, yah, adil. maka sebagai putra
Indonesia, saya berhak menyatakan bahwa sudah terang-terangan
tersisihkan "
the rule of law" oleh "
the
rule of will" kalau tidak boleh dikatakan "
the
rule of power". Jika ini didiamkan, saya takut menjadi
kenyataan ucapan Ki Dalang dalam dunia pewayangan pada waktu menggambarkan
ketidakadilan Rahwana Raja pada saat mengusir adiknya Wibisono,
sebagai berikut: Jojo bang ma-wingo-wingo, sapa siro sapa ingsun,
kuntul den arangi dandang, dandang den arani kuntul". Terjemahannya
kurang lebih "perduli amat", saya berkuasa, dapat mengatakan
putih sebagai hitam dan hitam sebagai putih", saya mengharap
berdasarkan "pro Justitia" tidak terjadi hal yang demikian.
Dan melalui sidang Mahmilub ini saya menyatakan bahwa saya menyatakan
solidaritas saya dengan keluarga Kader-kader PKI yang dibakar
hidup-hidup di Situjuh Sumatra Barat oleh PRRI/PERMESTA; saya
menyatakan solidaritas saya dengan para janda prajurit yang menyatakan
rasa tersinggung kemanusiaannya berkenaan dengan dibenarkannya
pengkhianat Dr. Sumitro untuk tinggal di Indonesia dengan tidak
melalui pangadilan yang meyakinkan . Kembali tentang anggaran
belanja Angkatan Darat pengalaman saya selama dalam Komisi C DPR-GR
ialah amat sulit menelitinya sebab selalu terbentur kepada mata-anggaran
pro menteri" dan mata anggaran khusus". Dan kalau diminta
penjelasan lebih lanjut dijawab rahasia militer, sehingga berhentilah
untuk meneliti selanjutnya, dan dalam komisi C DPR-GR menjadi
persoalan sampai kemana pengertian dan batas-batas rahasia militer
itu. Semua ini tentunya sdr. Jenderal Nasution tahu sebab saya
sebalum tertangkap pernah membaca koran yang memberitakan bahwa
sdr. Jenderal Nasution tidak membenarkan bahwa tidak bahwa anggaran
belanja negara sebagian besar adalah untuk ABRI. Hal itu diucapkan
sesudah pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1966. Dalam
rangka anggran belanja negara penting sekali penelitiannya penggunaannya
apakah betul-betul berguna. Ada baiknya 'Operasi Budi" dilakukan
lagi secara jujur dengan tidak mengenal bulu. Sebab menurut adr.
Jenderal Nasution katanya "operasi Budi" dulu dihentikan
kerena dilarang oleh Presiden Sukarno, Saya tekankan supaya dilakukan
kembali "operasi Budi" dengan jujur, untuk mencegah
jangan sampai kalau mengenai "konco atau lingkungannya sendiri"
dengan macam-macam akal diberi ulasan "
Hij is rijk van
huis uit" (ia kaja sejak dari rumah semula), tapi kenjataan
sebenarnya adalah "
hij is bedelaar van huis uit, en wordt
rijk door te breken langs de hiuzen heen" (ia adalah
pengemis dari rumah semula dan menjadi kaya dengan mendobrak dari
rumah kerumah). Semua itu saya lakukan demi nama baik Angkatan
Darat dan saya tidak ada niat untuk merongrongnya.
(c). Sebagai penentu mengharuskan para Jenderal
kanan Angkatan Darat bertanggung jawab dalam menentukan haluan
dan politik negara.
Untuk itu mereka benar-benar meneliti diri dan apakah sudah mempraktekkan
hal-hal jang sudah ditulis didalam buku jang sudah saja sebut
di depan oleh Saudara Ds. P.T. Sarumpaet, yaitu sebagai berikut.
"untuk menjalankan politik apalagi mengamankan politik,
sangat diperlukan keahlian yang dapat dicapai dengan banyak belajar,
banjak bergaul dengan rakyat, sehingga paham akan kesukarar-kesukaran
dan keperluan-keperluannya."
Apakah hal-hal tersebut sudah dipenuhi? Yang paling bisa menjawab
dengan tepat ialah -Jenderal-Jenderal kanan sendiri, apakah mereka
banyak bergaul dengan rakyat sehingga paham akan kesukaran-kesukaran
dan keperluannya.
Jika ada kebebasan demokratis maka rakyatpun akan bersuara.
Jika PKI dalam keadaan legal, maka PKI akan lebih bebas tampil
kedepan menyuarakan suara rakjat itu.
Demi kepentingan rakyat inilah PKI berjuang dan saya menyatakan
terima kasih kepada Saudara Oditur yang terhormat sebab:
PERTAMA, Saudara Oditur yang terhormat telah
mencap PKI sebagai makhluk-makhluk iblis, dan PKI memang benar-benar
iblis yang akan mengikis habis kaum Imperialis dan feodalis;
KEDUA, Sudara Oditur yang terhormat telah menempatkan
diri dipihak bukan tani dan kaum pekerja lainnya, karena sudah
menetapkan bahwa kaum tani dan pekerja kurang memiliki kewaspadaan.
Bagi PKI kaum tani dan pekerja lainnya adalah sumber dari segala
kreasi, mereka adalah yang paling waspada, dan kalau mau bicara
tentang kurang waspada maka pada saat tertentu malahan bisa dilakukan
oleh PKI, jadi PKI bisa salah tapi rakyat tidak pernah salah;
KETIGA, Saudara Oditur yang terhormat telah mengakui
adanya produk-produk legislatif dan pelaksanaannya dari PKI dalam
bidang agraria dan tenaga kerja pada umumnya.
Dengan pengakuan ini, jelaslah bahwa PKI tidak berbuat jahat bagi
rakyat banyak. Andaikata kaum Komunis itu jahat, maka jumlah Komunis
tidak mungkin berkembang dari hanya dua orang, yaitu Karl Marx
dan Friedrich Engels, selama 119 tahun dihitung sejak keluarnya
"Manifesto Komunis" (1848) menjadi lebih kurang 40 juta
sekarang di seluruh dunia, dan memegang tampuk pimpinan Negara
untuk lebih kurang sepertiga penduduk dunia atau lebih dari 1.000
juta umat manusia, di sebagian Eropa, Asia dan Amerika Latin.
KEEMPAT, Saudara Oditur yang terhormat menetapkan
PKI sebagai "
an invisible man", yang dapat saya
artikan "PKI is nergens maar overal" (PKI itu tiada
tapi ada di mana-mana).
Dengan demikian di sidang Mahmilub ini sebenarnya secara hakekat
ada pengakuan bahwa keyakinan itu tidak dapat diberangus. Menurut
hukumnya kalau keyakinan itu benar-benar mengabdi pada rakyat
banyak pada akhirnya pasti menang, kalau meminjam bahasa rakyat
adalah "wolak-waliking jaman" atau roda dunia berputar".
Saya tetap jakin, walaupun PKI sekarang dilarang tetapi sejarah
pasti membebaskan PKI Dan Marxisme - Leninisme tetap bersemayam
dalam hati tiap Komunis.
KELIMA, Saudara Oditur yang terhormat dalam keterangannya
menambahkan, bahwa "PKI adalah racun", dan memang benar
"PKI adalah racun yang mematikan bagi kaum-kaum penghisap,
penindas dan pemeras rakyat, tapi PKI sekaligus racun obat penyegar
tubuh rakyat".
Bagi saya, segala sesuata tidak hanya bersegi tunggal, tapi bisa
bersegi dua, atau bersegi banyak. Misalnjy tubuh manusia tak bisa
tumbuh tanpa phospor, atau phospor termasuk racun yang mempunyai
daya mematikan kuman disamping daya menumbuhkan tulang.
Sekali lagi terimakasih kepada Saudara Oditur yang terhormat untuk
hal-hal tersebut di atas.
Sekarang saya mau kembali kepada tulisan Saudara MJ Prajogo dalam
majalah yang sama seperti yang saja sebutkan di depan, yang memberi
alasan, bahwa dalam kecenderungan-kecenderungan untuk mengingkari
adanya perubahan dan pembaharuan, maka:
"Orang akan lebih mementingkan pangkat dan kedudukan daripada
tugas kewajiban; lebih mementingken ketenangan hidup dan kemewahan
daripada jasa yang bisa ditunaikan; lebih suka untuk berpegang
teguh-teguh pada pengalaman yang dikodifiikasikan daripada pemikiran
kreatif; lebih suka akan keamanan yang berdasarkan pengalaman
daripada kesempatan untuk mencoba memperbaharui pemikiran dan
keadaan". Demikian sdr. MJ Prajogo, dan menurut pendapat
saya, contoh konkritnya ialah:
a. Sebelum menjadi Ketua MPRS, sdr. Jenderal
Nasution satuju pemilihan umum segera diadakan paling lambat pada
tehun 1968, tetapi sesudah menjadi Ketua MPRS dan berhasil menjatuhkan
Presiden Sukarno, mengatakan setuju jika pemilihan umum tidak
terlaksana tepat pada waktunya alias setuju pemilihan umum diundur.
Saya tidak mengatakan, karena adanya sikap tersebut, bahwa sdr.
Jenderal Nasution ada plin-plan atau munafik, sebab yang.paling
mengetahui keplin-planan dan kemunafikan sdr. Jenderal Nasution
adalah sdr. Jenderal Nasution sendiri. Saja sadar bahwa sikap
itu adalah politik.
b. Saja dan Sdr. Nasution bersama-sama menjadi
anggauta MPRS sebelum diompongi seperti sekarang ini, sebab keanggotaan
MPRS sekarang lebih banyak-jumlahnya yang diangkat dari yang dihasilkan
oleh pemilihan Umum yang lalu. Dan sesama anggauta MPRS menyetujui
pemberian gelar untuk Presiden Sukarno sebagai Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia, yang masing-masing suara kita berdua dibawa
oleh stemmotevering ksi PKI bagi saja dan oleh stemmotevering
Kelompok Karyawan ABRI bagi Jenderal Nasution. Sesudah menjadi
ketua MPRS, maka sdr. Jenderal Nasution setuju dengan penanggalan
gelar bagi Presiden Sukarno. Jika mau ditarik garis lempang semestinya
di satu pihak setuju dengan menanggalkan gelar bagi Presiden Sukarno,
maka di lain pihak seharusnya menolak pemberian gelar baginya
sendiri, walaupun itu baru gelar dari Kampungnya sendiri, yaitu
sdr. Jenral Nasution kalau saya tidak keliru:
Raja Iskandar,
setiap orang tahu bahwa seorang memanjat bukannya dari atas, tetapi
seorang memanjat tetap dari bawah dan jatuh dari atas. Dalam hal
ini saya tidak mengemukakan bahwa sdr. Jenderal Nasution tidak
konsekwen, sebab ketidak konsekwenan sdr. Jenderal Nasution adalah
sdr. Jenderal Nasution sendiri yang paling tahu, saya sadar bahwa
samua itu adalah politik.
c. Para tahanan G.30.S. dipenjara Salemba bisa
ditanya bahwa dengan meminjam istilah sdr. Oditur yth., yaitu
pada tanggal yang tidak dapat ditentukan lagi dengan pasti, setidak-tidaknya
pada bulan Agustus 1966, jadi sebelum saya tertangkap, pernah
sdr. Nyonya Jenderal Nasution datang dipenjara tersebut, dan menjumpai
para tahanan jang tersangkut dengan penembakan terhadap sdr. Jenderal
Nasution. Kedatangan sdr. Nyona. Jenderal Nasution itu dirasaken
oleh para tahanan yang bersangkutan sebagai sesuatu yang janggal,
dan bukannya sekedar "bezuk", tetapi dirasakan sebagai
seorang pemeriksa yang mangajukan bertubi-tubi pertanyaan. Meminjam
parool atau semboyan hukum sdr. Oditur yth, ialah: "bahwa
setiap orang dianggap mengenal hukum" ("
ieder wordt
geacht de wet te kennen"), apakah menurut hukum yang
ada dan berlaku sah di Republik Indonesia, tindakan Sdr. Ny. Jenderal
Nasution itu dapat dibenarkan? Kalau dibenarkan pasal-pasal KUHP
manakah yang mangatur atau perundang-undangan manakah yang mengaturnya?
Saya takut bukannya menuduh, kalau "Orde Baru" sudah
menggariskan bahwa seorang isteri pembesar haruslah dianggap pembesarnya
itu sendiri dan bisa bertindak sesuai dengan fungsi suaminya,
atau suami bisa mendelegeer (mendelegasikan) bisa memberi mandaat,
bisa menguasakan kekuasaanya kepada isterinya. Jika ini betul
maka saya hanya bisa bergeleng kepala dengan menyebut "bukan
main"
Semua perasaan dan pikiran yang saya pandang ada hubungannya dengan
diajukannya saya di depan MAHMILUB ini dengan sadar saya tenangkan
supaya pihak Mahkamah cukup memiliki bahan-bahan pertimbangan
untuk menentukan penilaian yang dapat mendekati objektiefitet.
Saya berusaha keras dengan tangan terbuka dan dada lapang menjayakan
beribu-ribu terima kasih kepada semua penilaian yang ditujukan
pada diri saya, baik dari kawan maupun lawan, baik negatif maupun
positif. Khusus kepada sdr. Oditur yang terhormat saya mengangkat
topi dan menyatakan terima kasih bahwa masih mempunyai "moed"
dan mau menyatakan antara lain bahwa "saya dalam sidang Mahkamah
ini menunjukkan sikap yang sopan". Saya berpendirian bahwa
penting sakali menerima segenap penilaian-penilaian itu, supaya
dalam sisa-hidup saya yang masih menyisa, semua penilaian itu
dapat saya gunakan, untuk:
1. memeriksa diri,
2. mengenal diri,
3. memperbaiki diri.
Saya berpendapat tidak mungkin seorang dapat memperbaiki diri
tanpa mengenal diri, dan bohong besar seseorang yang menyatakan
telah mengenal diri tanpa melakukan pemeriksaan diri. Inilah pangkal
utama untuk memberanikan diri melakukan kritik terhadap diri sendiri
sebagaimana saya telah berusaha untuk melaksanakannya. Kritik
trhadap diri sendiri itu berjudul: "
TEGAKKAN PKI YANG
MARXIS-LENINIS UNTUK MEMIMPIN REVOLUSI DEMOKRASI RAKYAT. Agar
Rakyat banyak dapat menilai secara tepat, saya mengusulkan supaya
kritik terhadap diri sendiri itu dapat menjadi lampiran dari "Uraian
tangung-jawab" ini, sehingga samua menjadi terbuka.
Sikap terbuka bagi Rakyat banyak yang demikian itu adalah sepenuhnya
sesuai dengan ajaran PKI. Sikap terbuka bagi Rakyat banyak yang
demikian akan menembus keheningan dan memancarkan rasa tenteram,
sebab pada hakekatnya orang harus belajar untuk setiap kali meninggalkan
bentuk pandahuluan daripada usaha dan hasil kerjanya, dan harus
selalu mencari bentuk-bentuk baru. Orang tidak akan dapat berhenti
dan mengaso untuk menikmati hasil-hasil kerjanya, karena hal yang
demikian itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap sikap sendiri
dan terhadap tuntutan yang dibebankan kepada generasi baru Indonesia.
Dengan terus menerus orang harus mengatasi (transcenderen) diri
sendiri, meninggalkan diri sendiri beserta kepentingan-kepentingannya,
dan juga meninggalkan hasil-hasil kerjanya yang sudah pernah dicapai.
Berdasarkan keterangan inilah PKI menggariskan:
- Tundukkan kepentingan pribadi bagi kepentingan umum, sehingga
berlaku semboyan-semboyan: a. Partai adalah saya, tapi saya bukannya
Partai; b. Hati lebih keras daripada lapar; c. Tak seorang, berniat
pulang walau mati menanti.
- Rakyat pekerja adalah kreator segala keindahan, maka itu PKI
mendidik anggautanya untuk cinta kepada kerja dengan slogan 3
baik: - bekerja baik; - belajar baik, - moral baik.
- Dalam memimpin aksi-aksi Rakyat, PKI mendasarkan diri kepada
4 jelas: - jelas tuntutan; - jelas sandaran; - jelas sekutu; -
jelas sasaran.
- Dalam menempuh hidup supaya teguh memegang prinsip 4 kuat
yaitu: - Kuat mencintai Rakyat, PKI dan Revolusi; - Kuat membenci
musuh-musuh Rakyat, PKI dan Revolusi; - Kuat pahit dalam arti
tahan dalam derita; - kuat manis dalam arti tetap sederhana sewaktu
berfungsi sosial penting.
- Dalam malaksanakan solidaritas internasional supaya
dipadukan patriotisme dengan internasionalisme proletar, untuk
melawan sovinisme dan sekaligus melawan cosmopolitanisme.
- Dalam melakukan kritik dan kritik terhadap diri sendiri supaya
bersikap keras terhadap diri sendiri dan bijiaksana trhadap orang
lain. Hal ini dimaksud supaya setiap Komunis teguh memegang prinsip
dan luwes dalam peneterapannya.
- Dalam menghadapi kesukaran dan kesulitan supaya berani, pandai
dan waspada secara ravolusioner dengan menjunjung tinggi semboyan:
"sanantiasa mengharap yang baik, tapi siap untuk yang paling
sulit".
Tujuh garis PKI itulah yang menuntun saya untuk mengabdi tanpa
reserve kepada Rakyat, Partai dan Revolusi. Saya berusaha keras
untuk merealisesikannya dalam praktek dengan suatu keyakinan Komunis
bahwa dalam praktek revolusioner saya pasti terdapat kekurangan
dan kesalahan. Karena bekerja dan berjuang tentu terdapat kekurangan
dan kesalahan, sebab hanya orang yang tidak bekerja dan tidak
berjuang saja yang tidak berbuat salah. Maka itu saya mengharap
adanya pengertian dari pihak Mahkamah akan pikiran dan perasaan
saya, bahwa bagi pribadi saya kehadiran kawan-kawan Aidit, Lukman,
dan Njoto adalah sangat penting. Sebab saya berjuang tidak untuk
menipu Rakyat banyak dan saya berjuang juga tidak untuk ditipu
oleh kawan-kawan separtai saya. Selama saya dalam parjuangan mengenal
kawan-kawan Aidit, Lukman dan Njoto, maka mereka belum dan tidak
pernah menipu saya dan saya mempunyai keyakinan bulat, bahwa meraka
tidak akan dan tidak mau menipu saya, Mengingat bahwa mereka bertiga
telah mati, maka "
het gaat tegen mijn geweten in"
(bertentangan dengan hati nurani saya) untuk mempersoalkan perbuatan-perbuatan
diri mereka yang telah mati, apalagi menyalahkannya justru dalam
sesuatu kegagalan. Juga "
het gaat tegen mijn geweten in"
untuk menjebut nama kawan-kawan separtai saya dan tempat-tempat
yang telah memberi perlindungan pada saya selama berjuang di bawah
tanah, sehingga saya berpendirian untuk tetap tidak mau menyebut
nama dan tempat kawan, dan terima kasih kepada semua sdr. Pemeriksa
yang mau mengerti akan pendirian saya itu.
Juga "
het goat tegan mijn geweten in" untuk berdebat
dengan kawan-kawan separtai saya yang dihadapkan sebagai SAKSI,
sebab saya tidak mau ditarungkan dengan kawan-kawan separtai saya
dalam sidang Mahmilub ini; saya menggarisbawahi pernyataan sdr.
Hakim Ketua yth., yang menegaskan bahwa persidangan,ini adalah
Mahkamah dan bukannya rapat; dan tepat keterangan sdr. pemeriksa
Major Udara Trenggono SH pada saya bahwa dalam sidang Mahmilub
saya bisa di-expos, hal mana sedapat mungkin harus saya hindari
.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dan justru karena G-30-S.
gagal, maka saya perlu menandaskan, demi tanggung jawab dan demi
solidaritas Komunis, bahwa:
Pertama: Karena kawan-kawan Aidit, Lukman, Njoto
dan Sakirman sudah mati, maka saya ambil oper tanggung-jawabnya
segenap perbuatan politik mereka dalam rangka G.30.S.
Kedua: Walaupun saya tidak ikut membuat Dekrit,
tidak ikut menyusun komposisi Dewan Revolusi; tidak berada di
Halim, Lubang Buaja atau Pondok Gede baik di sekitar maupun pada
saat dicetuskannya G.30.S., tapi karena semua perbuatan itu adalah
perbuatan oknum-oknum anggauta PKI, maka saya ambil oper tanggung-jawabnya,
dan;
Ketiga: dengan penegasan tersebut di atas maka
menjadi makin jelas bahwa G.30.S. adalah tanggung-jawab TERTUDUH
SUDISMAN dan bukannya tanggung-jawab PKI.
Sesuai dengan rasa tanggung-jawab tersebut di atas perlu saya
kemukakan, bahwa terasa sukar untuk menjawab pertanyaan sdr. Hakim
Ketua yang terhormat, yang berbunyi: 'Apakah sdr. Tertuduh merasa
menyesal atas perbuatan-perbuatannya?
Pertanyaannya sendiri memang sederhana, tapi jawabannya yang
sukar, dan lazimnya sesuatu yang sederhana itulah yang sukar sebab
tidak mungkin hanya dengan menjawab "YA" atau "TIDAK"
tanpa suatu pemikiran dan penerangan.
Akhirnya demi keyakinan
Komunis saya, demi tanggung jawab saya, demi solidaritas Komunis,
saya terhadap kawan-kawan Aidit, Lukman, Njoto dan Sakirman selaku
"wapensbroeders" saya yang telah mati, saya membulatkan
diri saya untuk mengatakan tidak menjesal. Tapi dibalik itu saya
menyadari adanya korban jatuh, dan untuk itu tidak ada lain jalan
sebagai seorang Komunis, kecuali saya hening sejenak menundukkan
kepala.
Sekarang bertolak kepada rasa tanggung jawab, ingin saya kemukakan
fakta-fakta sebagai bahan penilaian MAHMILUB, yaitu bahwa baik
dalam sidang-sidang Dewan Harian Politbiro CC-PKI maupun sidang-sidang
Politbiro CC-PKI oleh kawan Aidit dijelaskan bahwa para Perwira
maju mau mengadakan operasi militer dan tidak pernah mengemukakan
bahwa PKI mau mengadakan operesi militer, dan oleh kawan Aidit
juga tidak pernah dikemukakan bahwa PKI mau mencetuskan revolusi
pada saat itu. Jika hal ini yang, dikemukakan oleh kawan Aidit
dalam sidang Dewan Harian Politbiro CC-PKI dan sidang Politbiro
CC-PKI, maka walaupun saya masih ada kelemahan-kelemahan tertentu
di dalam pengertian teori Marxisme-Leninisme, tapi terlalu tolol
bagi saya untuk menyanggahnya karena tidak ada Partai Komunis
yang bisa mencetuskan revolusi, dan juga tidak ada Partai Komunis
yang dapat dibenarkan mengadakan dan memimpin sendiri operasi
militer dalam artian aventurisme militer.
Timbul kemudian pertanyaan, apakah dapat dibenarken suatu Partai
Komunis mendukung suatu operasi militer semacam G.30.S.? Jawabannya:
bisa dan tidak.
Bisa: Ya, jika operasi militer bersifat revolusioner,
seperti G.30.S. Karena G.30.S itu mempertahankan anti penjajahan,
anti tuan tanah dan kebijakan pro Nasakom dari Presiden Sukarno
dan secara nyata melindungi pribadi Presiden Sukarno. Adakah contoh
di luar negeri tentang terjadinya suatu operasi militer yang revolusioner?
Ada, yaitu salah satu diantaranya ialah operasi militer Kolonel
Kasim yang anti imperialis menjatuhkan pemerintahan El Nuri yang
pro-imperialis. Hasilnya pemerintahan Irak yang berpakta militer
Bagdad dengan Imperialis Amerika Serikat, diganti menjadi Pemerintahan
Irak tanpa, Pakta Bagdad, tanpa pakta militer dengan Imperialis
Amerika Serikat.
Sekarang jawaban kedua: yaitu
tidak dapat mendukung suatu
operasi militer, jika operasi militer itu reaksioner yaitu seperti:
Pertama: kudeta ex Letkol. Zulkifli Lubis dan
ex Major Zaelani Komandan Rekad sebagai proloog pemberontakan
PRRI/PERMESTA yang anehnya pemberontak ex. Letkol. Lubis sekarang
sudah bebas tanpa diajukan di depan pengadilan;
Kedua: kudeta yang gagal, 17 Oktober 1952, oleh
sdr. Jenderal. Nasution dengan menempatkan moncong-moncong meriam
menghadap Istana Merdeka yang berarti ditujukan kepada Presiden
Sukarno yang berpolitik anti Imperialis. Karena dukungan rakyat
terhadap Presiden Sukarno dan karena keteguhan Presiden Sukarno,
maka kudeta itu dapat digagalkan yang mengakibatkan jatuhnya
sdr. Sultan Hamengkubuwono selaku Menteri Pertahanan dan di nonaktifkannya
sdr. Jenderal Nasution. Malahan peristiwa 17 Oktober 1952 yang
nyata-nyata konkrit ada oleh sdr. Jenderal Nasution dinyatakan
tidak ada, karena sudah diselesaikan secara intern dalam Angkatan
Darat dengan antara lain Ikrar Yogya dan sebagainya. Ini berarti
mengabstrakkan sesuatu yang konkrit. Jika peristiwa 17 Oktober
1952 boleh diabstrakkan sebagai pemberontakan (
opstand)
melakukan makar (
aanslag) yang didahului dengan mengadakan
permufakatan jahat (
samenspanning), apakah ini bukannya
"
emban cinde", "
emban siladan"
(pipih kasih).
Padahal kenyataanya sebagaimana tercantum dalam
halaman 14 Pleidooi sdr. ex. Brigjen. Suparjo ialah sebagai berikut:
"Tertudah (sdr. Suparjo) diminta bantuannya untuk membuat
teks pengumuman bahwa Presiden dalam keadaan selamat, sehat. Teks
diperlukan agar rakjat segera mengetahui tentang situasi Presiden.
Dan diumumkan melalui Istana oleh Letkol. Marokeh. Saksi (Brig.
Jen. Moch. Sabur) mengusulkan agar Presiden segera pindah dari
Halim. Tetapi Presiden menjawab bahwa untuk sementara tinggal
di Halim saja, untuk mengasakan sidang dengan menteri-menteri
di Halim. Komentar saya (sdr. Suparjo) dari ketarangan saksi menunjukkan
bahwa Kepala Negara vult zich op zijn gemak - berarti tidak
ada tekanan physik maupun psychis".
Dari penandasan Pleidooi sdr. Suparjo tersebut diatas sebetulnja
gamblang bahwa Presiden Sukarno tidak diganggu gugat oleh G.30.S.
dan tetap dalam fungsi sebagai Presidan yang menurut fasal 4 Undang-Undang
Dasar '45 dinyatakan, bahwa "Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar"
berdasarkan fakta ini jelas bahwa:
- G.30.S. secara konkrit menyelamatkan Presiden Sukarno.
- G.30.S. taat kepada Presiden, dengan bukti-bukti bahwa sdr.
Let.Kol. Untung akan melaksanakan keputusan apapun dari Presiden
(ploidooi sdr. Suparjo halaman 19).
Dari segi taat kepada Presiden Sukerno yang sekaligus adalah Pangti
ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, pada waktu itu, sesuai dengan Sumpah
Prajurit, maka sesunguhnya tidak ada fakta menggulingkan Pemerintahan
Republik Indonesia yang sah. Jika G.30.S. yang taat kepada perintah
Presiden/Pangti ABRI/Presiden Sukarno sesuai dengan "Sumpah
Prajurit" dikategorikan sebagai memberontak, maka kategori
apakah jang harus diberikan kepada sejumlah Jenderal jang tidak
taat kepada perintah Presiden/Pangti ABRI/Presiden Sukarno dan
pada tanggal 1 Oktober 1965 berhimpun di Kostrad dan melakukan
serangkaian (Ploidooi sdr. ex Brigjen Suparjo) halaman 26 dan
27 sebagai berikut:
- Jenderal Pranoto yang diperintahkan mengadap Pangti Presiden
R.I./PBR kemudian tidak menghadap, perintah ini melalui Ajudan
Presiden yaitu Kombes Sunirat sebagai kurier pribadi Presiden.
- Jenderal Umar Wirahadikusuma selaku Pangdam V/Jaya dipanggil
Presiden R.I./PBR juga tidak datang. (perintah ini disampaikan
oleh kurier pribadi Presiden jaitu Kolonel Bambang Wijanarko).
- Waktu Kolonel Bambang Wijanarko masuk ke Kostrad melihat Jenderal
Harto sedang berdialog dengan sejumlah Perwira-perwira
- Kemudian waktu Kolonel Bambang Wijanarko menyampaikan pesan
atas perintah Presiden untuk memanggil Pangdam V Jaya, maka dijawab
oleh Pak Harto: "Jenderal Umar blyft hier" artinja
"Jenderal Umar tetap di sini". Dan ditegaskan pula bahwa
semua perintah harus melalui Pak Harto.
- Waktu Menteri/Pangal menjampaikan Keputusan Presiden/Pangti
ABRI/PBR tentang:
- Angkatan Darat sementara dipegang oleh Pangti;
- Care-taker Angkatan Darat sebagai pelaksana sehari-hari
dan sifatnya sementara.
- Berhenti garakan (keputusan ini adalah hasil panitia ad hoc
yang disusun oleh 3 Menteri Angkatan dengan seorang Perdana Menteri
dan disahkan ditanda-tangani Presiden R.I.)
- Kemudian Jenderal Nasution berkata kepada Menteri/Pangal "mengapa
ikut-ikut mengurusi soal-soal lain Angkatan Kita jangan rame-rame.
Persoalan militer, adalah soal militer, persoalan politik adalah
politik. Marilah kita pecahkan masalah kemiliteran ini dan serahkan
masalah politik pada Presiden.
- Terjadi dialoog antara Kolonel Bambang dan Jenderal Harto
sebagai berikut: Presiden ada di mana - di Halim- Jenderal Pranoto
tidak boleh menghadap - kemudian Jenderal Harto menetapkan: Saya
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Semua perintah harus melalui
saja.
- Bila dibandingkan kegiatan tertuduh (sdr. ex Brigjen. Suparjo)
yang selalu taat pada perintah-perintah kepala negara, sekalipun
dengan hal-hal yang sepele yang menyangkut peristiwa di Kostrad.
Jadi siapa yang seharusnya dituduh sebagai dalang persekongkolan?.
Demikian sekelumit sejarah yang saya ambil dari pleidooi sdr.
ex Brigjen. Suparjo yang intisarinya adalah mengetengahkan tidak
taatnya sejumlah Jenderal kepada perintah atasannya dalam hal
ini Pangti/Presiden Sukarno. Tindakan ini adalah berlawanan dengan
"Sumpah Prajurit", dan apa jadinya dengan TNI kalau
tingkat bawahan mengikuti jejak para Jenderal tersebut? Yang pasti
apabila tingkat bawahan melanggar "Sumpah Prajurit"
maka mereka akan ditindak tanpa ampun, tapi kalau hal jang sama
dilakukan oleh sejumlah Bapak Jenderal bisa diampuni. Singkatnya
untuk tingkat bawahan berlaku tak kenal ampun, tapi untuk atasan
berlaku boleh diampuni.
Apakah ini bukannya diskriminasi dalam
disiplin, apakah hal ini tidak berbahaya bagi pelaksanaan "degorder"
atau "perintah harian"? Apakah ini tidak merobek-robek
jiwa "Sumpah Prajurit" junjungan ABRI?. Saya berpendapat
bahwa serangkaian ceramah sdr. Jenderal Nasution yang tanggalnya
tidak saya ingat secara pasti, tetapi pada akhir pertengahan
tahun 1966 kepada para Perwira AURI, yang menyatakan bahwa sudah
biasa bagi setiap perintah dari perwira atasan tidak dilaksanakan,
menunjukkan gejala ketidakdisplinan yang serius bagi ABRI. Mungkin
perumusan Sdr. Jenderal Nasution tidak setegas perumusan yang
saja ajukan, tetapi intinya sama. Bagaimana kita dapat menerima
rasa keadilan dengan dihukumnya para pelaku G.30.S seperti sdr.
Hargijono dan kawan-kawannya yang taat kepada perintah Komandannya
dan kepada Presiden Sukarno dan yang perbuatannya menjadi tanggung
jawab Komandannya, sementara pengabaian disiplin yang dilakukan
Jenderal Nasution tidak diakui sebagai subversi TNI.
Saya sadar
bahwa tindakan sdr. Jenderal Nasution itu adalah tindakan politik
untuk mencapat tujuan politik tertentu yang mengarah
keeinddoel.
Saya tidak mengatakan bahwa sdr. Jenderal Nasution ingin menjadi
Presiden R.I. - tidak. Sebab, setiap warganegara R.I. yang baik
berhak untuk mencalonkan diri sebagai Presiden, tapi jalannya
apakah mesti dengan menjadikan sebagai suatu Presiden yang mengabaikan
disiplin TNI?
"Karena tindakan itu tidak dilakukan oleh PKI, maka dengan
sendirinya bukannya diberi stempel "het dul heiligt de
middelen". Alangkah baiknya jika segala sesuatu tersebut
ditelaah oleh fihak Mahkamah dan betul-betul demi keadilan, demi
kemurnian "sumpah prajurit" dan "Sapta Marga."
Sekarang saya hendak melangkah ke:
POKOK KE-EMPAT:
Dari penangkapan sampai kesidang MAHMILLUB.
Saudara Hakim Ketua yang terhormat.
Untuk dapat menggambarkan secara tepat bagaimana jalannya suatu
penangkapan, baiklah saja ketengahkan sebait sajak saya, berjudul:
DISERGAP
Seisi rumah lagi enak nyenyak,
mendadak terperanjat, bangun terbentak,
oleh gedoran pintu dibarengi derap sepatu,
todongan pistol bernikel menuding-nuding,
mengabakan, ayo jongkok dipojok,
dengan baju celana dalam thok,
alangkah berkesan bagiku adegan ini,
disergap sesaat mentari merekah pagi.
Dari sebait sajak ini terlukis pistol nikel terkokang diputar-putar
á là cowboy Amerika Serikat, sambil menghardik-hardik.
Saja rasa hal demikian tidak perlu terjadi lagi. Sebab sewaktu
saya tertangkap pada zaman kolonial Belanda dan fasis Jepang,
saya tidak diperlakukan demikian. Saya berpikir penting juga saya
kemukakan penertiban cara menangkap demi Republik Indonesia yang
berazaskan Pancasila, tentang barang bukti sitaan, ketika pada
zaman Belanda dan Jepang dulu dilakukan pendaftaran ditempat sehingga
tidak terdapat kekeliruan. Pengalaman menunjukkan bahwa sewaktu
saya ditangkap telah disita selain dokumen-dokumen yang sudah
diserahkan kepada Sdr. Hakim Ketua Yth., juga disita barang lainnya,
seperti: arloji tangan merk
Tudor, uang lebih kurang Rp.3.000,
radio transistor, pakaian dan sebagainya. Tetapi sungguh mati
saya tidak tahu dikemanakan barang-barang itu. Belum lagi barang-barang
kawan-kawan Sukadi dan Tan Sui Liang yang serumah dengan saya.
Memang sengaja baru sekarang ini hal itu saya kemukakan, bukan
dengan maksud untuk minta kembali barang-barang tersebut, tidak
sama sekali, tapi untuk mengukur kejujuran para petugas militer
"
Operasi Kalong" yang menangkap saya demi Pancasila.
Saya malu bahwa hal demikian masih terjadi dalam alam Indonesia
Merdeka, sedangkan pada waktu zaman Kolonial dulu tidak saya alami
keganjilan seperti itu. Ini tidak berarti bahwa saya mau kembali
ke zaman normal, dalam arti zaman penjajahan lagi,tidak, tetapi
saya menginginkan peraturan dan pengaturan yang lebih baik daripada
zaman penjajahan dulu baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Jangan
biarkan senjata menjadi bagian penangkapan dan jangan biarkan
tangkapan menjadi semacam penjarahan. Saya mengharap melalui Mahkamah
ini supaya diteruskan kepada yang berwajib untuk ditertibkan cara
menangkap orang, supaya tidak terganggu rasa "
freedom
from fear" rakyat. inilah praktek konkrit yang saya
kemukakan tanpa embel-embel.
Dari persoalan penangkapan saya menjurus ke pemeriksaan. Saya
ingin mengemukakan bahwa saya pribadi tidak pernah mengalami pukulan
selama pemeriksaan, malahan hubungan antara pemeriksa dan yang
diperiksa berdasarkan saling menghormati dan saling mengerti akan
keyakinan masing-masing titik tolaknya, saling menghormati walaupun
menganut perbedaan politik. Tetapi tidak demikian halnya jyng
dialami oleh kawan-kawan saya, sampai-sampai kawan Anwar Sanusi,
calon anggota Politbiro CC-PKI dan bekas wakil Sek.Jen. Front
Nasional pusat masih dipukul juga, apalagi yang lain. Ragam pukulan
hampir menyerupai siksaan sewaktu zaman fasis Jepang, hanya digantung
sajalah yang tidak digunakan. Sungguh mengerikan kalau melihat
derita akibat pukulan yang dialami kader-kader PKI dan mereka
yang dituduh tersangkut dengan G.30.S., padahal ke- salahan mereka
belum terbukti, dan belum tentu mereka itu bersalah. Belum tentu
bersalah tetapi badannya sudah rusak akibat pukulan dan diselomoti
(dibakar) dengan nyala rokok, sandal karet yang dibakar, sampai
distrom.
Saya tidak sampai hati untuk menyebut satu persatu macam pukulan
dengan dalih pertanyaan tentang pengertian mereka mengenai Pancasila.
Kepada saya waktu ditahan di Kodim Budikemuliaan, pernah oleh
seorang yang mengaku bernama Jimmy, dan memperkenalkan diri sebagai
Intelligence Service (IS), ditawarkan untuk melihat kawan-kawan
saya yang bergelimpangan di dalam sal. Saya menolak untuk menghindari
penderitaan batin. Akibat siksaan selama pemeriksaan pendahuluan
kawan-kawan separtai saya, dapat dilihat langsung ketika mereka
dihadapkan sebagai saksi-saksi. Malahan seorang non komunis, sdr.
Sarjono dari Partindo jatuh pingsan saya tidak menyanggah keterangan
yang telah menyatakan, bahwa sdr. Sarjono terserang masung angin.
Ini satu segi, tapi saya ingin mengajukan segi lain yaitu bagaimana
perasaan seorang civil berhadapan dengan pembesar militer, ialah
sebagai berikut: umumnya ada rasa gelisah, rasa takut dan rasa
kuatir yang sangat mendalam, sebagai gejala psychis yang ditimbulkan
oleh adanya konflik-konflik emosionil disertai ciri-ciri yang
khas, ialah berdebarnya jantung secara tidak normal yang dapat
sekaligus dirasakan mengerasnya denyutan urat nadi.
Dan sebab-sebab itulah dimulainya neurose jantung dengan gejala-gejala
khusus umpamanya: nafas atau di dalam dada menjadi sesak atau
setengah mampet".
Persoalan tersebut perlu saya kemukakan supaya dapat digunakan
sebagai bahan dalam mempertimbangkan kebenaran keterangan Saksi,
dan sekaligus menegaskan bahwa seorang sipil seharusnya dihadapkan
ke depan pengadilan biasa dan bukan ke pengadilan militer.
Sewaktu mereka diperiksa di Mahmilub dengan jelas terlihat adanya
siksaan-siksaan terhadap para Saksi, Kader-Kader PKI, maka demi
Pancasila saya mengusulkan kepada Mahkamah:
- Dengan adanya siksaan-siksaan diluar batas perikemanusiaan
itu tidak lain karena anggapan bahwa tidak ada salahnya membunuh
orang Komunis sebab:
a. Adakalanya seorang pembesar militer mengemukakan
melalui wawancara di koran-koran supaya tokoh-tokoh Komunis "ditangkap
hidup atau mati", atau "kalau orang-orang Komunis setelah
dibebaskan bergerak lagi supaya ditembak saja". Dapatkah
hal ini dibenarkan secara hukum yang sah berlaku di Indonesia?
Apakah ucapan-ucapan semacam itu tidak menggelisahkan masyarakat
luas, terutama para keluarga anggauta dan simpatisan PKI yang
berjumlah jutaan orang?
b. Instruksi yang sangat luas dari sdr. Jenderal
Nasution yang isinya kurang lebih, supaya terhadap orang-orang
Komunis dihabisin sampai keakar-akarnya" dan tindak mereka
yang ada indikasi G.30.S. baik langsung maupun tidak langsung?
Dengan adanya instruksi tersebut, maka terjadi pembunuhan massal.
Apakah fihak Mahkamah tidak sependapat dengan tertuduh bahwa dalam
hal pembunuhan massal itu mesti diminta pertanggungjawaban sdr.
Jenderal Nasution?
- Mengundang International Fact Finding Commission melalui
Kedutaan-Kedutaan Besar Negara Sosialis di Indonesia, yang berkewajiban
mencari fakta kebenaran tentang:
a. Terbunuhnya tanpa melalui proses pengadilan
anggota CC dan Kader-kader penting PKI lainnya diataranya kawan-kawan:
Aidit, Lukman, Njoto, Sakirman, S. Samidikin dan Thayb Adamy (Aceh),
Rachman, Ainuddin dan Nursutind (Sumbar), J.Suak (Sul. Utara)
Rissi (Kupang) dan lain-lainnya;
b. Cara-cara pembunuhan massal meilputi kurang
lebih 70,000 orang Jawa Tengah 60.000 (Jawa Timur), 50.000 (Bali)
dan ribuan lagi di tempat-tempat lainnya. Caranya antara lain
ada yang ditenggelamkan bersama kapal Adri (J.Suak dengan tigapuluh
kawan lainnya), hidup-hidup dimasukkan parit alam (luweng) di
Wonosari dan sebagainya;
c. Keadaan para tahanan yang masih menyisa, apakah
cukup kalori makanannya untuk sekedar hidup, kalau tidak apakah
tidak menjurus ke '"geleidelijke moord" (pembunuhan
secara halus)?
Fakta-fakta tersebut sangat penting untuk diteliti secara obyektif
oleh
International Fact Finding Commission supaya tidak
berat sebelah. Ini jika mau mencari kebenaran.
Dalam sidangMahmillub ini dapat diketahui bahwa dalam PKI, diberi
kebebasan dalam menganut kepercayaan, sehingga ada yang tak beragama,
ada yang tidak beragama tapi percaya kepada Tuhan, ada yang beragama
Islam, Kristen, Protestan dan Khong Hu Cu. Sebab PKI berpendapat
bahwa ajaran seseorang tidak dapat dibatasi secara administratif,
dan kepercayaan itu adalah soal pribadi sehingga pada masing-masing
anggauta PKI diberi kebebasan untuk menetapkan kepercayaan masing-masing
dengan menekankan bahwa setiap anggota satu sama lain saling menghormati
kepercayaan masing-masing. Bertolak pada dasar inilah, maka seorang
Komunis tidak boleh memiliki dendam perorangan, dan kebenarannya
dapat dibuktikan oleh persetujuan saya terhadap penetapan sdr.
Moch. Daljono SH sebagai penasehat hukum saya, walaupun saja tahu
benar bahwa sdr. Moch. Daljono SH adalah bekas pemimpin Masyumi.
Hal ini perlu saja kemukakan untuk menghilangkan salah tafsir
bahwa orang-orang Komunis itu mempunyai perasaan dendam, karena
itu ide revolusi mereka ditafsirkan sebagai hanja mau bunuh-membunuh
saja.
Pengertian Komunis tentang revolusi bukannya indentik dengan bunuh-membunuh
tetapi revolusi adalah pemindahan kekuasaan dari klas yang menindas
ke klas jang tertindas. Sekarang saya mau menjelaskan:
POKOK KELIMA: Plebisit untuk Memilih Presiden.
Jika kita betul-betul jujur terhadap satu sama lain dan menganalisa
keadaan secara tenang lepas dari rasa sentimen, harus diakui bahwa
dalam kenyataannya SP 11 Maret 1966 dicapai dengan kudeta yang
geruisloos (tanpa sanggahan), sebab sdr. Jenderal Suharto berada
dalam overmacht (posisi yang sangat kuat). Saja berpendapat, bahwa
SP ll Maret 1966 dapat keluar karena Presiden didatangi oleh tiga
Jenderal Angkatan Darat yaitu Jenderal Basuki Rachmad, Jenderal.
Amir Machmud, dan Jenderal Jusuf, yang mempunyai dukungan kuat
dari Angkatan Darat dan tindakan tiga Jenderal itu tidak mungkin
terlepas dari pertemuan duapuluh Februari 1966, atau kalau meminjam
istilah sdr. Oditur yth. setidak -tidaknya pada sekitar akhir
Februari 1966 di Aula MBAD, yang dihadiri oleh lebih dari 20 perwira.
Saya tidak menyebut di sini siapa-siapa saja, yang hadir, tapi
kalau betul-betul mau mencari kebenaran, lepas dari segenap sentimen
tentunya yang merasa hadir pada pertemuan itu akan dapat datang
kehadapan Mahkamah dan dengan terus terang menjelaskan. Selain,
penjelasan tersebut di atas perlu saja ketengahkan bahwa saja
berpendapat "
show of force" l2 Maret 1966 itu
sebetulnya mempunyai dua aspek:
Pertama: Kalau Presiden Sukarno menolak untuk
menandatangani maka akan ada gerakan operasi militer.
Kedua: Kalau Presiden Sukarno menandatangani
akan digunakan untuk
show of force atau pamer kekuatan
sebagai pemenang.
Setelah tercapai Surat Perintah 11 Maret, maka berangsur dlakukan
usaha-usaha untuk menjatuhkan Presiden Sukarno, dari kedudukannya.
Umumnya taktik yang dipakai adalah menyerang PKI dulu setelah
itu tujuan sasaran adalah "unner centre" seperti PNI,
Partindo, dan penyokong-penyokong Presiden Sukarno lainnya, dan
sesudah itu langsung menyerang "centrumnja" jaitu Presiden
Sukarno.
Motivasi serangan politikdariJenderal beraliran kanan Angkatan
Darat terhadap Presiden Sukarno yang dikenal sebagai "
trouble-maker"
bagi Imperialis Amerika Serikat, ialah untuk "
to merry
go round", agar secara politik bergandengan tangan dengan
Imperialisme Amerika Serikat.
Contoh konkrit Indonesia sekarang
sudah menjauhkan diri dari perasaan solidaritas dengan negara
blok Asia Afrika, misalnya tidak mengatur solidaritas terhadep
RPA dalam melawan agresi Israel. Menurut perhitungan sederhana
Israel tidak mungkin menyerang R.P.A secara besar-besaran tanpa
ada "
backbone", tulang punggungnya yaitu kaum
Imperialis Amerika dan Inggris terutama Imperialis Amerika Serikat
pencipta gerakan "zionisme". Israel baru menjerang
R.P.A. setelah konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Berhenti.
Ini berarti bagi kaum imperalis bahwa keamanan sudah terjamin
dan kaum imperialis tidak takut terganggu kedudukannya di Indonesia
dan sekitarnya.
Sementara itu, kalau pemerintah R.I. masih revolusioner
dan anti Imperialis sesuai dengan alinea preamble mukadimah UUD-1945
jang berbunji:
"bahwa sesungguhnya kemerdekaaa itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan",
maka harus menjadi pelopor dalam mengorganisasi solidaritas A-A
untuk "membantu negara-negara Arab mengganyang Israel".
Ini kalau mau memurnikan UUD 1945 dalam kata-kata dan perbuatan.
Selaku orang revolusioner semestinya harus memukul Imperialis,
sebab salah satu ciri dunia sekarang ialah perjuangan sengit antara
kaum imperialis dengan gerakan pembebasan nasional secara menyeluruh.
Tentunya kita sama-sama ingat bahwa Jenderal bermata satu, Jenderal
Dayan dari Israel pernah dijagoi oleh Imperialis Amerika Serikat
untuk memimpin pertempuran di Vietnam Selatan dan harapan Imparialis
meleset sama sekali, sebab pasukan-pasukan Jenderal bermata satu
itu dibikin hancur oleh pasukan Front Nasional Pembebasan Vietnam
Selatan.
Jadi kalau kaum revolusioner sedunia ini konsekwen memukul kaum
Imperialis, maka kaum revolusioner bisa membikin kaum Imperialis
lari mondar mandir kian kemari sehingga capai dijalan, dan menjadi
terkencing-kencing sebelum sampai di W.C. Ini jika mau revolusioner
"
in weerd en daad", dan bukannya revolusioner
sebegai "lamis-lamising lambe" atau sebagai "
lip-service".
Dan untuk aktivis imperialis Amerika saja merasa berkewajiban
untuk mengemukakan, bahwa:
- Bussines Amerika pada saat ini telah merupakan bussines yang
internasional sifatnya. Modal A.S. mempunyai kepentingan dan investasi
hampir di semua negara di benua-benua di dunia ini, Amerika
Serikat mengirimkan hasil-hasil industrinya,, memberikan berbagai
macam kredit serta sumbangan, di samping membeli bahan-bahan mentah
dari negara-negara tersebut;
- Bertuk baru penanaman modal AS melalui bank, dan dilakukan
oleh bank yaitu Bank of America dan First National City
Bank Strategi AS. untuk berekspansi kalau negeri yang bersangkutan
tidak mengizinkan, maka dielakkan peraturan jang berlaku dengan
jalan membeli saham bank swasta atau lembaga keuangan lainnya".
Contoh di Jerman Barat kaum Imperialis Amerika berhasil membeli
saham Deutsche Bank Union Frankfurt sampai 55 juta dollar
AS Jalan ini ditempuh oleh AS untuk mencegah jangan ada kebencian
rakyat terhadapnya, karena usahanya tertutup. Jalan ini jang disabut
oleh AS yang paling "workable" dan "profitable".
- Cara seperti tersebut di atas dibarengi oleh kegiatan CIA,
misalnya mendirikan, "American friends of the Middle East"
yang membiayai harian "Al Hiwar" yang berpolitik
anti RPA, sehingga RPA melarang beredarnya "Al Hiwar",
dan pers Kairo terus menerus mengutuk. dominasi Imperialis AS
dalam mengeskploitasi perminyakan Arab. Ingat saja sejak tahun
1965 investment AS dalam produksi minyak Arab keuntungannya 50
persen dari penanamannya dalam minyak Eropah Barat "Egyptian
Mail" pernah berseru, supaja Rakjat Arab bertekad melawan
kartel-kartel minjak asing AS yang berkeras kepala dalam menggaruk
keuntungan sebesar-besarnya. Jelaslah bahwa setiap penanaman modal
asing mengakibatkan pengerukan keuntungan keuntungan ke luar negeri.
Contohnya "Inter American Development Bank" selama
2 tahun telah mengeluarkan kredit 700 juta dollar AS untuk Amerika
Latin dalam bukunya, tetapi dalam kenyataannya hanya:
a. mengeluarkan 60 juta dollar AS, diantaranya
kredit sebanjak 24 juta dollar untuk Equador, hanya dikeluarkan
240 ribu dollar AS.
b. Sisanya 600 juta dollar AS, untuk membeli
saham AS.
- Mengingat pengalaman-pengalaman tersebut di atas saja mengharap
kewaspadaan patriot Indonsaia yang cinta-tanah air dan Rakjat
Indonesia dan supaya meneliti pemberian kredit sebanyak 295 juta
dollar AS kepada Indonesia, Cegah adanya kong kalikong sebagaimana
terjadi di Amerika Latin. Untuk membangun Indonesia bantuan kresit
tidak mencukup, dan pembiayaan dengan kredit adalah "uang
mahal" Juga pembangunan Indonesia pesat bisa ditempuh dengan
kenaikan harga dan tarif yang sengaja ditujukan untuk menghilangkan
kejanggalan perimbangan harga-harga dan untuk menekan subsidi
Pemerintah. Dan inflasi diatasi dengan memotong uang dalam peredaran
yang berakibat depresi dengan menurunkan kegiatan-kegiatan ekonomi,
memperluas pengangguran, karena pembangunan berhenti, industri
berhenti dan perdagangan menjadi spekulatif, achlirnya pajak diperkeras
semuanya ini mengakibatkan harga terus meningkat, daya beli rakyat
merosot dan upah sebulan kerja hanya cukup untuk seminggu saja.
Rakyat banyak gelisah karena ketidakmampuan pemerintah dalam mencari
pemecahan secara tepat di bidang ekonomi dan keuangan yang menguntungkan
rakjat banjak, dan teringatlah rakyat pada waktu ada PKI ada yang
memperjuangkan nasibnya, tetapi sekarang serba sukar. Kalau
mengeluh soal nasibnya di cap setuju dengan "G.30.S, tetapi
kalau diam saja bisa mati kelaparan. Akhirnya rakyat yang hidup
senen-kemis. Achirnja menyeletuk ORLA [Orde Lama] artinya "
Ora
Lali Bapak". Demikianlah suara
Kampung.
Sesudah dengan positif Presiden Sukarno berhasil didongkel, maka
apa yang dikatakan oleh kawan Aidit semasa proloog G.30.S. menjadi
suatu kenyataan sekarang, yaitu:
Pertama: Dewan Jenderal mau mengadakan kudeta,
menjadi suatu kenyataan hanya saja geriuschloos (secara diam-diam)
sebab imbangan kekuatan menjomplang menguntungkan Jenderal Angkatan
Darat yang beraliran kanan;
kedua: Dawaan Jenderal tidak anti-imperialis,
sekarang menjadi suatu kenyataan dengan diundangnya kembali modal
monopoli asing dan dikembalikannya lagi perusahaan-perusahaan
Imperialis antara lain Goodyear dan dijadikannya pengkhianat
Sumitro sebagai penasehat ekonomi pemerintah; tidak ada pembatasan
modal asing buka areal sawah; dan Taiwan mengolah 750.000 bal
kapas untuk Indonesia;
ketiga: Dewan Jenderal tidak anti tuan-tanah
sekarang menjadi suatu kenyataan sebab tidak lagi melaksanakan
UUPA dan UUPBH, dan kaum tani dilanda pajak antara lain dikenakan
penyetoran 10 persen padi; Rakjat kewalahan (keberatan) bayar
pajak; wayang golek dipajak Rp.1000,--; lenong/ tanjidor dipajak
Rp.500,-- ;
keempat: Dewan Jenderal anti Nasakom sekarang
menjadi kenyataan dengan pembubarakan PKI, tidak oleh Presiden
Sukarno tetapi oleh sdr. Jenderal Suharto.
Karena menang, maka Dewan Jenderal sebagai kekuatan kanan tidak
dikenakan tuduhan konspirasi (
samenspanning), tidak malakukan
penyerangan (
aanslag) dan tidak malakukan pemberontakan
(
opstand). Ini semuanya menujukkan benarnya teorie Marxisme-Leninisme,
yang menyatakan bahwa: Negara adalah alat kekuasaan atau diktatur
dari klas yang satu untuk menindak klas lain, dan bentuk konkritnya
alat kekuasaan itu adalah ABRI dan Birokrasi ada di tangan siapa.
Di Indonesia sekarang ada di tangan para Jenderal beraliran kanan
Angkatan Derat dan pengaruh politiknya. Walaupun sesama Jenderal
tetapi politiknya kiri pasti ditangkap. Bung Karno tidak boleh
mengadakan aktivitas politik adalah politik yang tidak demokratis,
sebab Bung Karno adalah seorang politikus tapi dilarang mengadakan
aktivitas politik. Apakah demokratis seorang politikal dilarang
berpolitik. Akan tetapi secara terang-terangan menyatakan Bung
Karno ditahan, tidak berani karena takut rakyat banjak akan marah.
Jika betul-betul memihak demokrasi, kekuatan militer sekarang
supaya mengadakan plebisit dengan tema:
- Bung Karno, ya atau tidak.
- Atau pilih antara Bung Karno dan Jenderal Nasution misalnya.
Plebisit tanpa biaya dapat diselenggarakan, yaitu dengan serentak
di seluruh Indonesia diadakan pemilihan lurah dengan tema seperti
diatas, Sampai sekarang dalam pemilihan umum lurah, rakjat membiayainya
sendiri dan tidak ada anggaran dari pemerintah untuk itu. Ini
jika mau menempuh jalan demokratis, jangan dengan jalan seperti
sekarang ini.
Dengan plebisit saya yakin rakyat akan pilih kembali Bung Karno
sebagai Presiden. Sungguh suatu tragedi nasional, Bung Karno dijatuhkan
oleh MPRS yang sebagian besar angautanya adalah 'conflicten regoling'
yang mengatur sengketa antara Presiden dengan MPR belum ada dan
sekarang terang ada konflik. Jalan satu-satunya adalah plebisit.
Saja teringat pada zaman penjajahan Belanda du1u kita minta "
Volksraad"
dan "
Rood van Indie" diganti dengan "
Parlemen"
karena baik "
Volkraad" maupun "
Rood van
Indie" tidak dipilih langsung oleh rakjat dan sebagai
anggautanya terdiri dari anggota-anggota angkatan Gubermur Jenderal.
Dimana letak tragedinya? Tragedinya ialah di zaman penjajahan
kita berjuang maju ke Indonesia Berparlemen, tapi setelah merdeka
kita mundur ke semacam "
Rood van Indie" bahasa
Jawanjy "jo kebangeten" atau "keterlaluan".
Saja dan PKI tidak. pernah memberikan gelar ini atau itu kepada
Bung Karno, tidak pernah memberikan agung ini, atau agung itu,
sebab gelar satu-satunya jang tepat adalah "
Bung Karno"
sehingga nama Bung Kerno berkembang dari Sukarno (ada kesukaran)
ke Bung Karno (artinjy bongkar kesukaran). Sebagai sesama orang
revolusioner, justru dalam keadaan sulit separti sekarang inilah
saya terus membela dan mempertahankan Bung Karno, sebab sesuatu
mengatakan bahwa "
in de nood leert men zijn vrien den
kennen" (dalam kesulitan kita mengenal kawan) dan "jo
sanak, jo kedang, jen mati aku sing kelangan" kata Bung Karno
untuk PKI. Sebagai arek Surabaya, saja sambut uluran tangan Bung
Karno dengan: "
ali-ali nggak ilang, nggak isa lali ambek
kancane". (artinya tidak bisa lupa sama kawannya).
Kenapa saja bela dan pertahankan Bung Karno? Sebabnya ialah sepanjang
sejarahnya Bung Karno konsekwen anti Imperialis sampai berani
menyemboyankan "
go to hell with your aid" terhadap
imperialis Amerika Serikat; Bung Karno setuju mengikis sisa-sisa
feodal dengan mengadakan landreform terbatas; dan Bung Karno setia
pada persatuan tenaga-tenaga revolusioner. Inilah dasar daripada
instruksi saya pada anggota-anggota PKI, untuk masuk dan bentuk
"Barisan Sukarno".
Dalam kesulitan seperti sekarang ini berlakulah pepatah Pavlov
bagi Bung Karno "
a discovery begins where an unsuccessful
experiment ends" (suatu penemuan mulai pada saat pengalaman
yang tidak sukses berhenti).
Sekarang saya sampai ke pokok terachir yaitu:
POKOK KEENAM: Hidup untuk berjuang, dan berjuang untuk
hidup.
Sdr. Hakim Ketua yang terhormat, selama saya hidup, saya jumpai
bermacam-macam pendirian tentang hidup. Ada sementara orang berpedoman
pada pepatah Jerman "
Ein Leben ist ein Spiel",
atau "hidup itu adalah suatu sandiwara".
Bagi saya, saya tidak sependapat dengan pendapat tersebut, sebab
tarasa kelihatannya sebagai sesuatu yang enteng yang ringan, ya
asal saja. Artinya menjadi ini boleh, menjadi itu baik, dan semuanya
dikerjakan serba main-main tanpa kesungguhan, tanpa kebulatan
hati.
Tidak saya tidak ingin bersandiwara dalam hidup, maka itu selogan
Jerman tadi harus diubah menjadi: "
Ein laben ist nicht
ein Spiel, aber en Leben ist ein Streit". Terjemahannya
ialah: Hidup bukannya sandiwara, tapi hidup adalah suatu perjuangan".
Kita hidup untuk berjuang, dan kita berjuang untuk hidup, Kita
hidup bukan sekedar hidup, kita hidup untuk mempertahankan hidup
itu dengan keberanian sampai jantung berhenti berdenyut. Sejak
manusia dilahirkan mulai dengan rengek baji pertama sampai hembusan
nafas terakhir, tak lain merupakan suatu perjuangan. Kadang-kadang
menghadapi perjuangan sangat berat menghadapi pertarungan sengit
dan pertarungan bisa sengit tapi tidak setiap pertarungan sengit
dimahkotai dengan suatu kemenangan. Tujuan hidup, adalah berani
mamasuki pertarungan sengit dan sekaligus memenangkan pertarungan
sengit itu sendiri. Inilah yang diimpikan oleh setiap pejuang,
tak ketinggalan seorang pejuang komunis , Inipun impian saya dalam
hidup. Tanpa impian, tanpa cita-cita, hidup menjadi tandus: "
What
wonder of wonders is the living, is life!"
Ajaib bin ajaib dalam kehidupan adalah hidup.
Hidup untuk berjuang dan berjuang untuk hidup. Demikian tujuan
Komunis-ku.
Tujuan itu tak mungkin tercipta tanpa tanggung-jawab. Dan tanggung
jawab bagi saya adalah ibarat kata-intan. Bersumber pada kata
intan inilah saya sajikan sajak coretan dalam sel tahanan, sebagai
berikut:
KATA INTAN TANGGUNG JAWAB
kuhadapi,
razia demi razia,
kuhadapi,
pemeriksa demi pemeriksa
kuhadapi sel siksa-demi sel siksa.
kuhadapi,
penjara demi penjara
dengan kepala dan hati,
rela mati bagi PKI,
demikian makna
kata intan tanggung jawab.
Sungguh kilau kegemilapan cahaya,
Kata intan tanggung iawab
tapi, kalau
diingkari sama dengan insan khianat
dan lari menanggalkan itulah laknat
sebab, terang
tanggung-jawab mengamanatkan
tri eka tunggal eka
tunggal dalam pikiran, hati dan tujuan
Kalau petir menyambar dan mati menghadang,
kuhadapi
tanggung jawab silih berganti
ku tak ingar, ku tak lari
apalagi menanggalkan
kuhadapi dengan teguh dan tenang
sederhana dan rendah hati
demi rakyat, PKI dan revolusi
demi proletariat sejagad dan PKI,
demikian makna
kata intan tanggung jawab.
Setelah saya sajikan sajak tersebut, dengan meminjam perkataan
penulis Andrew Carve, saya akan menatap pelaksanaan hukuman bagi
saya dengan:
No tears for Disman - Tiada airmata bagi Disman,
sedangkan bagi para petugasnya, saya sampaikan:
You had done the world a service - Kalian telah berbuat
bakti bagi dunia.
Saya adalah seorang Komunis berasal dari Jawa sehingga berkewajiban
sesuai dengan kebiasaan Jawa, untuk menyampaikan:
Pertama: matur nuwun, terima kasih kepada semua
pihak yang telah merasa membantu saya selama berjuang;
Kedua: nyuwun gunging pangaksomo, minta seribu
maaf, terutama kepada massa progressif revolusioner jang merasa
saya rugikan selama dalam perjuangan;
Ketiga: nyuwun pangestu, minta restu terutama
pada semua keluarga istri dan anak-anak dalam saya melaksanakan
putusan hukuman.
Hidup Republik Indonesia!
Hidup Partai Komunis Indonesia!
Copy of transcript courtesy of Ben Anderson, corrected by Nani Pollard, University of Melbourne